Move

11 7 1
                                    


Alan membantu Nada merapikan barang-barangnya, memindahkan setiap kotak dan koper ke rumah mewahnya. Setiap barang yang disusun rapi seakan menyiratkan sebuah cerita baru yang menunggu untuk dituliskan di tempat yang begitu asing namun penuh janji ini. Bagi Nada, ada perasaan enggan yang tak bisa ia elakkan. Tinggal di rumah Alan berarti berada di dekatnya setiap hari, sebuah kenyamanan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, namun juga sebuah ketakutan akan perasaan yang mulai tumbuh dan tak lagi bisa dipungkiri.



Nada memandangi Alan yang sedang sibuk menata koper besar di sudut ruangan. Dalam hatinya, ada pertanyaan yang bergelora, seolah mencari kesempatan untuk keluar. Dengan keberanian yang tak sepenuhnya dia yakini, dia bertanya, "Alan, apa benar ada kelicikan yang terjadi di Perpusnas?"


Alan menghentikan sejenak aktivitasnya. Dia memutar tubuh dan memandang Nada dengan tatapan yang dalam, seakan hendak menembus batas keraguannya. "Iya, Nad. Ada banyak hal yang perlu kita selidiki di sana." Dia tersenyum, senyum lembut yang sering membuat Nada merasa terlindungi. "Kamu mau nggak, nemenin aku ke sana? Sekalian kita buat ini jadi semacam 'library date' seperti orang-orang, gimana?" Nada merasakan hatinya berdegup lebih kencang mendengar ajakan Alan yang terkesan santai namun mengandung makna yang lebih.


"Ayo, aku mau, mau banget!" jawabnya cepat. Dia mencoba menutupi antusiasmenya, tapi jelas terlihat kilauan semangat di matanya yang sulit disembunyikan. Dia bisa merasakan percikan rasa yang berbeda, seolah ada dunia baru yang siap terbuka di antara buku-buku dan lorong-lorong sunyi perpustakaan itu.


Alan berjalan mendekat, menatap Nada dengan cara yang membuatnya merasa seperti hanya mereka berdua yang ada di dunia ini. "Tapi sekarang, kita harus ke rumah dulu," ucap Alan dengan nada yang lebih lembut. "Ibu sudah menanyakan kamu sejak tadi." Dia menepuk bahu Nada dengan sentuhan yang hampir tak terasa, namun cukup untuk membuat Nada merasakan kehangatan yang mengalir dalam dirinya.


Nada mengangguk pelan. Ia menyadari bahwa di balik semua tanya dan ragu yang selama ini ada, Alan selalu hadir dengan caranya sendiri—membuatnya merasa aman, namun juga menantang perasaannya yang mulai tak terkendali. Ada harapan dan ketakutan yang bercampur aduk saat mereka melangkah menuju mobil, menuju rumah, menuju sebuah babak baru dalam hidup yang tak pernah mereka duga akan muncul dari hal-hal sederhana seperti perpustakaan atau percakapan ringan tentang kelicikan di tempat yang penuh pengetahuan.

Sambil berjalan di sisi Alan, Nada diam-diam berharap waktu dapat berhenti sejenak, memberikan mereka lebih banyak kesempatan untuk mengecap setiap momen yang berlalu. Sebab di tengah segala misteri yang mungkin menanti di balik tembok Perpusnas, ada satu hal yang mulai ia yakini—bahwa bersama Alan, ia menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.


Begitu tiba di rumah Alan, Nada tertegun. Rumah itu begitu indah, mewah, dan hampir mustahil dibayangkan sebelumnya. Interiornya penuh kemegahan, dengan langit-langit yang tinggi dan pilar-pilar berukir. Sebuah air mancur berdiri anggun di halaman depan, mengalir berirama seperti melodi lembut yang menyambut kedatangan mereka.


Nada menghela napas panjang, lalu setengah bercanda berkata, "Alan, aku rasa lebih baik aku tinggal di kontrakan saja, deh. Rumah ini terlalu mewah untukku."


Alan menoleh ke arah Nada dengan tatapan serius, alisnya sedikit terangkat. "Kenapa? Kamu nggak nyaman sama rumahnya?" tanyanya tegas. "Kalau begitu, kita pindah saja ke mana kamu mau. Nggak masalah, kok."


Nada tertawa kecil, merasa geli melihat ekspresi serius Alan. "Ya ampun, aku cuma bercanda, Alan. Kamu terlalu serius."


"Tapi aku nggak main-main, Nad." Alan mendekat, menatap dalam ke matanya. "Kalau kamu benar-benar nggak nyaman, kita bisa pindah. Aku mau kamu merasa seperti di rumah sendiri."


Nada tersenyum hangat, hatinya berdesir. Ada sesuatu dalam cara Alan berbicara yang membuatnya merasa diprioritaskan, dihargai. "Terima kasih, Alan. Tapi aku hanya perlu waktu untuk terbiasa. Lagipula, siapa yang nggak akan betah tinggal di rumah seindah ini?"


Alan tertawa, suara tawa yang dalam dan lembut, seperti alunan musik di telinga Nada. "Kalau gitu, ayo kita masuk. Ibu pasti sudah nggak sabar ingin bertemu kamu."


Mereka berjalan beriringan, melewati pintu masuk dengan dekorasi marmer yang berkilau di bawah sinar lampu kristal. Saat berada di dalam, Alan dengan iseng meraih tangan Nada dan menggenggamnya erat. "Sekarang, kamu benar-benar nggak bisa kabur," ujarnya sambil tertawa nakal.


Nada tertawa sambil mencoba menarik tangannya. "Eh, jangan kayak gitu. Nanti Ibumu lihat, kita jadi bahan gosip!"


"Biarkan saja. Lagipula, mungkin itu yang Ibu harapkan," jawab Alan dengan senyum penuh arti.


Nada menatapnya, separuh malu separuh bingung. "Maksudnya?"

Alan menatapnya dengan tatapan lembut. "Ibu sudah lama ingin aku punya seseorang yang spesial di hidupku. Dan, kurasa... aku sudah menemukannya."Nada merasakan wajahnya memanas, dadanya berdebar keras. Satu kalimat itu terasa seperti denting lonceng di dalam hatinya, membangkitkan perasaan yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Ia berusaha mengalihkan pandangannya, tetapi Alan tetap menatapnya, menunggu respons yang seakan tak pernah cukup. "Aku nggak tahu, Alan," jawab Nada pelan, berusaha menormalkan nadanya. "Aku ini cuma... ya, cuma aku."Alan tersenyum, sebuah senyum yang tulus dan penuh kasih sayang. "Dan itulah yang aku suka darimu.".

Suara NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang