3 - JARAK

3 1 0
                                    

Chapter 3
‐ JARAK ‐

Ketika lonceng di pintu kafe berbunyi, itu menjadi isyarat alami yang menarik perhatian setiap orang di dalamnya. Tanpa disadari, naluri manusia membuat mata mereka otomatis tertuju ke arah pintu, entah karena rasa ingin tahu atau sekadar refleks.

"Atas nama siapa Mas?" Tanya pramusaji sambil bersiap-siap mencatat pesanan dari pria yang berdiri di depannya

"Nuvo"

Setelah itu, pria yang baru saja memesan dengan nama Nuvo melakukan pembayaran dan menunggu beberapa menit sampai pesanannya siap di hidangkan. Nuvo melangkah keluar, membuat pintu kafe kembali berbunyi dan menjadi sorotan kembali. Sejak awal, tatapan mata mereka memang tak pernah lepas darinya seolah ada daya tarik yang lebih mendalam.

Nuvo Bilqi Razka-melangkah mendekati teman-temannya yang sudah menunggu di kafe, menikmati suasana hangat yang penuh tawa dan obrolan.

"Widih, Mas Nuvo!" teriak salah satu dari mereka, berdiri menyambutnya dengan semangat yang mencolok. Ia memiliki rambut keriting seperti brokoli dan tubuh tinggi. Namanya adalah Gama.

"Gimana perjalanan dari Jakarta, Vo?" tanya Khalil yang duduk di samping Gama

"Bucin mampus dia sama Karina. Jogja-Jakarta siap di tempuh demi ayang tercinta" sahut Aiden

"Jidat lo kenapa benjol gitu?" Gama mengerutkan alis "jangan bilang di pukulin sama Karina?"

"Ngaco! Ini ketimpa koper"

"Lah, gimana ceritanya?"

"Yaudah gitu" Nuvo mengambil tempat di salah satu kursi dan membuka tasnya, mengeluarkan laptop dengan gesit. Dengan fokus yang mendalam, jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, mengolah beberapa file yang membutuhkan perhatian serius.

Monoton. Begitulah cara pandang teman-temannya terhadap Nuvo. Sehari-hari, hidupnya terisi dengan rutinitas kuliah, rapat himpunan, dan bucin ke Jakarta. Tak ada warna baru dalam kesehariannya.

"Gue di comblangin sama temen gue" Aiden memulai percakapan. Ekspresinya yang serius menarik minat semua orang di sekitarnya "tapi dia baru putus sama pacar nya"

"Berapa tahun pacarannya?"

"Nah kalo itu gue lupa nanya"

Khalil menghela napas "awas jadi plampiasan. Udah jomblo akut sekalinya deket sama cewek jadi plampiasan"

"Iya juga ya!"

"Yang mana sih orang nya?" Tanya Gama mulai penasaran "anak UGM juga?"

"Bukan deh" jawab Aiden sambil mengeluarkan ponselnya dari saku. Ia membuka aplikasi pesan, mencari riwayat chatnya dengan temannya itu. Dengan nada kecewa, ia menambahkan "foto-nya juga nggak ada"

"Ig?"

"Ngga minta"

Gama mendengus kecewa "payah lo!"

"Tapi malem rabu di ajak ketemu sama temen gue buat ngenalin temen nya ini" Aiden menyenggol lengan Nuvo, menarik perhatian laki-laki itu dari layar laptop dan membuatnya beralih menatap ke arahnya.

"Apa?" tanya Nuvo dengan nada dingin, meski dalam hati ia merasa sedikit terganggu karena konsentrasinya terpecah.

"Gantiin gue dong"

"Males"

"Pleasee...."

"Yang lain tuh," kata Nuvo dengan nada tegas "gue udah punya cewek!" Suaranya penuh penekanan, seolah ingin memastikan bahwa Aiden mengerti batasan yang jelas.

"Gue siap Den kalo lo ngga mau!" Sahut Khalil dengan semangat, laki-laki itu tersenyum cerah sambil menaik turunkan alis. "Buat gue aja deh"

"Gue ngga percaya sama lo, cunguk!"

"Daripada Nuvo. Dia udah punya pacar, mending sama gue."

"Kalian kira Nuvo kemarin ke Jakarta ngapain? Ngebucin?" Aiden bertanya sambil menunjuk Nuvo dengan dagunya "dia ke Jakarta cuma buat mutusin cewek nya!"

"Lah?" seru Khalil dan Gama bersamaan, wajah mereka dipenuhi kebingungan. Mereka saling berpandangan, seolah mempertanyakan apakah hanya mereka berdua yang terlewatkan informasi penting ini.

"Kok lo ngga cerita Vo?" Khalil memberikan ekspresi kecewa yang berlebihan, seolah ingin menambah dramatisasi suasana. "Gila! Gue kira hubungan kita spesial ternyata yang spesial cuma martabak doang"

Keduanya menunggu dengan penuh harap, ingin segera mendapatkan penjelasan atas kebingungan yang melanda. Namun, Nuvo tampak acuh tak acuh terhadap keributan yang terjadi di sekelilingnya. Mungkin, pikirnya, ia tidak ingin terburu-buru membahas topik yang telah menguras pikirannya, terutama setelah perjalanan panjangnya kembali ke Jogja.

Perhatian mereka teralihkan oleh bunyi deringan ponsel Nuvo, yang menunjukkan panggilan masuk. Nuvo segera mengangkat ponselnya, memposisikan perangkat itu di depan telinga, seolah-olah ingin segera mengalihkan perhatian dari tatapan maut teman-temannya yang sedang haus penjelasan.

"Hallo" suara berat Nuvo menyapa lebih dahulu.

Ia melangkah menjauhi hiruk-pikuk suara musik yang mengganggu, berusaha menemukan tempat yang lebih tenang untuk berbicara.

"Vo, ini Mila."

"Iya. Ada apa?"

"Surat izin observasi nya udah di kirim ke pak Dendi?"

"Harusnya udah Mil karena besok kita udah harus survey kan?"

"Barusan gue ngehubungin pak Dendi katanya belum masuk surat apa-apa dari himpunan"

Ah, apa lagi ini? Nuvo mengusap keningnya dengan penuh frustrasi sambil mencari kontak grup humas di ponselnya. Sambil menunggu balasan dari salah satu anggota humas yang baru saja ia hubungi, ia kembali menyahut telepon Mila, bersiap untuk memberikan penjelasan.

"Dua hari yang lalu gue udah ngehubungin humas untuk segera kasih surat itu ke pak Dendi, dari mereka konfirmasi udah di kasih. Salah nya gue ngga langsung konfirmasi lagi ke pak Dendi. Sekarang dari humas kasih jawaban, surat nya ada di meja pak Dendi."

"Ke kampus dulu bisa ngga? Masih ada pak Dendi di kampus"

Nuvo melirik jam tangan di pergelangan kiri nya. Waktu menunjukkan pukul 18.30 malam.

"Boleh deh. Gue ke kampus sekarang"

Tbc

JARAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang