5 - JARAK

1 1 0
                                    

Chapter 5
- JARAK -

"Hah..."

Nuvo menjatuhkan diri di atas kasur, merasakan kelegaan saat tubuhnya menyentuh permukaan empuk itu. Ia menatap langit-langit kamar apaetemen nya yang tampak acak dan samar. Sejak memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen, Nuvo merasa seolah menemukan sedikit ketenangan. Di balik kesunyian ini, memberikan ruang bagi pikirannya untuk berputar.

Tringggg...

Suara notifikasi pesan menyentak Nuvo dari lamunannya. Dengan cepat, ia membuka ponselnya dan matanya terfokus pada nama yang terpampang di layar 'sayang❤️' masih lengkap dengan emoticon love merah. Kontak itu adalah milik Karina yang belum sempat di ganti atau mungkin Nuvo memang tidak berniat menganggantinya.

Katakanlah ia bodoh, tetapi perasaan tidak bisa dihapus dengan mudah. Bagaimana mungkin rasa itu hilang secepat itu?

Sayang❤️
| aku tau ngga pantes bilang ini
| tapi aku harap kamu ketemu org
| baru yang bisa bahagiain kamu.

Nuvo mendengus, hatinya terasa sesak. "Ck.." gumamnya, melempar ponsel ke atas kasur dengan gerakan acuh tak acuh.

Kenapa harus orang baru? Kenapa bukan kamu? Pertanyaan itu berputar-putar di pikirannya, merobek tenang yang berusaha ia bangun setelah perpisahan kemarin.

Dengan langkah berat, Nuvo bangkit dari kasurnya. Ia mengambil hoodie yang tergeletak di kursi. Setiap detik menjadi terasa berat, setiap pikiran mengikatnya pada masa lalu yang sulit dilupakan. Tidak mau terlalu terhanyut pada kenyataan pahit itu, Nuvo memilih mencari udara segar di luar, mengisi perut yang belum diberikan asupan.

"Pura-pura move-on juga butuh tenaga, kan?" gumamnya pada diri sendiri, mencoba mencari sedikit humor di tengah keputusasaannya.

"Lama-lama gue jadi Mario Teguh edisi kedua juga nih!"

Ia melangkah menuju lift dan memencet tombol lalu menunggu hingga pintu tersebut terbuka secara otomatis.

Tinggg..

Pintu lift terbuka, memperlihatkan sosok Rania berdiri di dalam. Di tangannya, ada sesuatu yang sangat familiar bagi Nuvo—jaketnya. Tatapan tajam Ran menyambutnya, seperti singa yang siap menerkam mangsa. Nuvo tak bisa menutupi keterkejutannya. Rania di sini? Apakah dia tinggal di apartemen ini juga? Pertanyaan itu menggantung di benaknya.

"Santai aja mbak, itu bola mata nya sampe bisa dijadikan toping cuanki, lho." Nuvo terkekeh pelan lalu pandangannya kembali teralihkan pada sesuatu di tangan Ran "jangan lupa di loundry ya"

Ran mendecak, berkacak pinggang. "Kalo bisa, sama lo-lo-nya sekalian gue laundry! Lo nguntit gue, kan?"

"Maaf? Gimana?"

"Lo. Nguntit. Gue. Kan?" Ran mengulangi, memberi jeda di setiap kata.

Nuvo terkekeh. "Mbak, gue orang Jogja, meskipun ada blaster Jakarta dikit. Wajar dong gue jalan-jalan keliling Jogja, termasuk tinggal di sini."

"Maksud lo, yang bukan orang Jogja ngga boleh tinggal di sini?"

"Maksudnya, gue bukan penguntit. Tau lo hidup aja baru kemarin siang masa udah di tuduh nguntit"

Ran tersenyum kecut, setengah geli, setengah kesal. "Lo emang semenyebalkan ini ya?"

Nuvo mengangguk dengan mantap, tanpa ragu. "Iya, aslinya ngangenin. Tapi itu cuma bisa dirasain cewek-cewek cantik. Jadi, kalo menurut lo gue ngga ngangenin, lo udah tau kan apa artinya?"

Ngga cantik. Bohong, cantik sih kan perempuan. Nuvo membatin dalam hati.

Ran tertawa kecil, tapi tatapannya tetap setengah jengkel. Sebelum pintu lift tertutup, Ran menoleh dan berkata, "Can you stop calling me 'Mbak'?"

"Hm?" Nuvo mengangkat bahu santai, senyum usil masih tersungging. "Nanti gue coba panggil 'Bude' deh."

Pintu lift tertutup sebelum Ran sempat membalas, meninggalkan Nuvo sendirian di dalam lift. Hampir saja ia tertawa keras. Sepertinya, ada hal-hal menarik yang bakal bikin dia betah di apartemen.

***

"Tumben banget lo gabut main ke apart gue" ujar Aiden

Di apartemen Aiden, suara gedoran pintu tengah malam membuat Aiden yang hampir terlelap terkejut. Jam menunjukkan 00:59 saat Nuvo muncul di pintu, membawa dua bungkus martabak manis. Tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini—auranya galau, seolah tercium dari jarak radius 50 kilometer.

"Daripada gue bunuh diri, mending gue ke sini," kata Nuvo datar, sambil menaruh martabak di meja makan.

Aiden, yang baru saja akan menyantap martabak, menghentikan gerakannya dan ternganga kaget. "Serem banget, cok! Istighfar, Vo!"

Nuvo tertawa tipis. "Bercanda, lah."

Aiden mendelik. "Mulut lo tuh dijaga, kayak orang yang nggak pernah baca Al-Qur’an aja."

"Iya, iya, heboh amat. Ngalahin penonton Dahsyat."

Aiden mendesah, lalu memandangi Nuvo dengan serius. "Makanya, ngomong yang baik-baik. Kalau tadi ada malaikat lewat terus diijabah, gimana?"

Nuvo menatap ruangan dengan dingin. "Ngga ada malaikat yang mau masuk ke sini. Lo aja jarang sholat."

"Rai mu!" Aiden mendekat, wajahnya serius. "Kenapa lo bisa putus?"
[Rai = muka. Dalam bahasa Jawa]

"Katanya ngga bisa LDR," jawab Nuvo singkat.

Alasan yang begitu klise, tapi tetap saja menghancurkan hubungan mereka. Ia kembali teringat percakapan terakhir yang penuh dengan omong kosong, seakan jarak menjadi satu-satunya penghalang, padahal mungkin ada hal lain yang tidak pernah diungkapkan. Seperti beberapa kali Nuvo mendapat kabar Karina pergi berdua dengan cowok lain tanpa sepengetahuannya. Saat ia mencoba mengkonfrontasi, jawaban Karina selalu sama, dia takut Nuvo akan marah.

Kamu takut bikin aku marah, tapi nggak takut bohongin aku. Nuvo mendesis dalam hati.

Aiden menatap Nuvo dengan penasaran. "Terus, gimana?"

"Ya putus."

Aiden mengerutkan dahi, kecewa. "Ngga ada tampar-tamparan gitu?"

Nuvo mendengus. "Ngga lah! Drama banget."

Aiden berseru, kecewa. "Akh, ngga seru! Kurang HOT!" Lalu wajahnya berubah serius lagi. "Ngga apa-apa, bro. Kita cari cewek di Jogja ini."

Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JARAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang