4 - JARAK

3 1 0
                                    

Chapter 4
‐ JARAK ‐

Motor Ninja hijau itu melesat cepat di jalanan kota, memecah keramaian tanpa peduli apa yang tertinggal di belakang. Gedung-gedung berlalu dalam sekejap, tapi pikiran Nuvo tertinggal di Jakarta. Meski fisiknya sudah tiba di Jogja, jiwanya masih terperangkap di sana.

Lihatlah, dunia terus bergerak, tak peduli meski dirinya sedang hancur dan tak baik-baik saja.

"Baik, terima kasih ya Nuvo."

Nuvo mengangguk menyalimi pak Dendi yang baru saja keluar dari ruangan bersamanya "maaf pak karena tidak konfirmasi lagi ke bapak"

"Tidak apa-apa," jawab Pak Dendi, menepuk pundaknya. "Kamu hati-hati di jalan, ya."

"Iya, Pak. Sekali lagi terima kasih."

Setelah pertemuan itu usai, Nuvo beranjak pergi. Kali ini, ia memutuskan untuk tidak menggunakan lift seperti sebelumnya. Ia memilih jalur yang lebih sunyi—menuruni tangga yang berkelok di sisi gedung. Suara langkah sepatunya bergema pelan di lorong sempit, menyatu dengan keheningan gedung yang mulai lengang.

"Nuvo!!" Suara melengking yang akrab itu memecah kesunyian, membuat Nuvo sejenak terhenti di tengah langkahnya. Ia menoleh dan melihat Mila dari kejauhan, melambai dengan antusias, lalu mempercepat langkahnya untuk mendekat.

"Udah ketemu pak Dendi?" tanyanya begitu ia sampai, napasnya sedikit terengah setelah setengah berlari menghampiri.

"Udah," jawab Nuvo singkat, suaranya tenang.

"Gimana? Surat nya aman?"

Nuvo mengangguk pelan. Mila tampak lega, senyumnya meluas seolah beban berat terangkat dari pundaknya. "Alhamdulillah, makasih ya."

"Lo ngapain ke sini?"

"Gue cemas banget takut pak Dendi pulang duluan dan lo belum keburu sampe di kampus"

"Sendiri?"

Mila menggeleng "sama temen" jawabnya sambil melirik ke arah parkiran. Tanpa menunggu lebih lama, ia memanggil seseorang yang berdiri di dekat motornya, suaranya melengking, "RANNNNN!!!"

Teriakan itu menggema, menarik perhatian Nuvo, meski sebenarnya ia tidak terlalu penasaran siapa yang dipanggil Mila. Namun, seperti kebanyakan orang, naluri manusia membuat matanya refleks mencari sosok yang disebut, meski pikirannya enggan. Seseorang yang bersandar santai di samping motor Mila menoleh, sedikit terkejut mendengar panggilan itu.

Nuvo hanya menatap sekilas, meski sebenarnya tak ada dorongan kuat untuk mengetahui lebih jauh. Tapi, rasa ingin tahu selalu muncul tak diundang saat seseorang yang tak dikenal tiba-tiba ada di hadapan kita.

"Kenalin ini temen gue dari Bandung namanya Rania"

Nuvo menatap gadis di depannya, seketika terkejut. Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah raut wajah Ran yang sama terkejutnya, seolah keduanya baru saja menyadari sesuatu yang tak terduga. Pikiran Nuvo langsung terbang ke kemarin siang, di stasiun—Gadis yang tanpa sengaja menjatuhkan koper tepat ke kepalanya.

Tatapan mereka bertemu sejenak. Ran pun tampak ragu untuk bicara, mungkin sama bingungnya dengan Nuvo, yang tak menyangka bahwa gadis asing yang ditemuinya kemarin siang ternyata adalah teman Mila.

"Kenapa di lihat terus? Ganteng ya?" tanya Nuvo, dengan nada bercanda yang seolah mengusir keseganan di antara mereka.

Kedua alis Ran berkerut, terkejut. "Sorry, apa tadi?"

"Ganteng ya?" ulangnya, kali ini dengan lebih percaya diri.

"Hahaha," Ran tertawa, nada sarkastisnya menggelitik, "Kocak juga temen lo, Mil."

"Kalian saling kenal?" tanya Mila, kebingungan.

"Engga," jawab Nuvo cepat, "Cuma kebetulan ketemu di stasiun."

"Oh iya? Waw, kebetulan banget." Balas Mila

"Kebetulan yang ngga di harapkan sih," sambung Ran, wajahnya menunjukkan ekspresi kecewa. "Sepertinya semesta lagi ngga berpihak sama gue, harus ketemu lagi dengan orang asing yang sok percaya diri begini!"

"Mbak, biar orang asing begini, gue rela jaket ini jadi tissue buat ingus mbak pas ngigau nangis-nangis." ujar Nuvo sambil melepaskan jaket hitam yang dikenakannya. Dia menunjukkan noda putih yang tampak jelas di lengan kiri, bercak lendir yang kontras dengan warna gelap jaketnya.

"Kalo gitu supaya ngga jadi orang asing, tolong bawa ke laundry ya. Hubungi nomor gue, minta aja kontaknya dari Mila." Nuvo tersenyum puas, melihat reaksi Ran yang terbakar oleh kata-katanya.

"Lo–"

"Kenapa?" Nuvo sudah memotong pembicaraan Ran dengan cepat. "Kurang jelas kata-kata gue? Mau dibantu eja satu persatu?"

"Ngga perlu!"

"Bagus." Nuvo beralih menatap Mila. "Duluan ya, Mil," ucapnya sambil berjalan ke parkiran, meninggalkan mereka berdua.

Kepergian Nuvo memberikan kesan tersendiri di udara. Ran mengamati langkahnya, mengingat kata-kata yang baru saja diucapkan. "Semesta sedang tidak berpihak padanya?" Hah. Nuvo tersenyum smirk, membayangkan betapa jauh ketidakberpihakan itu akan membawanya.

Tbc

JARAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang