(13) Keputusan Gina

8 0 0
                                    

"Nak, boleh Umma masuk?"

Gina tersenyum mendapati Umma yang berdiri di depan pintu kamar. Tadi siang, kedua mertuanya menjemput Gina dari rumah Gino dan membawanya kemari. "Boleh, Umma."

Wanita itu meletakkan nampan berisi segelas susu hangat dan toples berisi cookies buatannya sendiri ke atas meja, lalu ikut duduk di sebelah sang menantu yang mulai hari ini akan tinggal bersamanya. "Dimakan ya, Nak. Kamu tadi makan malamnya sedikit sekali."

"Ini Umma bikin sendiri?" Gina membuka toples dan memakan cookies nya, sementara Umma mengangguk sebagai jawaban. "Enak banget, sama kayak yang dijual di toko-toko!"

Tangan Umma terulur untuk mengusap rambut panjang Gina yang halus, dia selalu menginginkan seorang anak perempuan.  Namun, karena dirinya sulit untuk mendapatkan keturunan, Tuhan hanya memberinya satu anak laki-laki saja. "Nanti kita bikin bareng-bareng ya?"

"Serius boleh?" tanya Gina dengan mata berbinar-binar. Umma benar-benar mengingatkannya dengan Ibu. Mereka berdua sama-sama berkepribadian lembut dan perhatian.

"Boleh dong, Sayang," balas Umma dengan senyum teduhnya. "Umma senang, dari dulu pengeeeen banget punya anak gadis biar bisa didandanin, terus diajak bikin kue bareng."

Gina menelan cookies nya, baru setelahnya menyahut, "Kan sekarang ada Gina. Biar Gina yang jadi anak gadisnya Umma!"

"Duh, beruntungnya punya menantu kayak kamu," Dengan gemas Umma mencubit pipi Gina yang menggembung lucu karena diisi cookies.

"Iya dong!"

"Maafkan Sean ya, Nak?" Umma menatap sedih menantunya yang pasti sangat kecewa dengan kelakuan putranya. Sewaktu Gina tiba, cepat-cepat Umma ceritakan semua permasalahan yang terjadi dari awal hingga akhir supaya Gina tidak lagi menebak-nebak hubungan Geisha dan Sean. "Dia salah karena merasa bisa mempertanggungjawabkan masalah ini sendirian. Padahal, ini bukan sepenuhnya salah dia. Sudah berkali-kali Umma ingatkan untuk melepas Geisha dan Kala, tapi Sean tetap bersikeras untuk mengurus keduanya."

Gina menahan air matanya yang memaksa keluar. Memang betul, dirinya teramat kecewa karena Sean tidak mau jujur dan membagi masalahnya dengan Gina. Tapi, di sisi lain dia juga merasa kasihan pada Kala yang kehadirannya tidak diinginkan. Satu hal yang membuatnya bertambah tidak habis pikir adalah ketika Umma memberitahu siapa Ayah kandung Kala. Orang itu adalah teman dekat Sean sendiri, tidak heran mengapa suaminya itu merasa sangat bersalah atas kecelakaan yang terjadi pada Geisha.

"Ayah kandung Kala ngga pernah dateng buat jengukin anaknya?" Gina bertanya penasaran.

"Engga," jawab Umma. "Dari Kala lahir, sampai dia sudah sebesar ini, Ayahnya sama sekali ngga peduli. Dia lepas tanggung jawab, dihubungin dan didatangi ke rumahnya langsung pun ngga membuat dia sadar sama tanggung jawabnya."

"Didatangi langsung? Berarti Ayah Kala masih ada di kota ini?"

"Dua tahun yang lalu memang iya, dia masih ada disini. Tapi, karena Sean gencar mendatangi dia, orang itu langsung pindah entah kemana. Dia betul-betul menghilang."

Gina tidak bisa menahan air matanya lagi dan langsung menangis begitu Umma menyelesaikan kalimatnya. Gina sungguh tidak bisa membayangkan bagaimana Kala akan tumbuh tanpa sosok orangtua yang menyayanginya. Sebab, sewaktu dirinya kecil dulu, Ayah dan Ibu selalu ada disisi Gina. Jika mereka tidak ada sebentar saja, Gina pasti akan langsung menangis mencari-cari keberadaan mereka. Sementara Kala, dia harus terbiasa hidup tanpa perhatian dari kedua orangtuanya. Gina jadi mengerti kenapa Sean begitu keras kepala untuk mendampinginya.

"Umma... apa boleh Gina dan Sean yang rawat Kala?"

"Apa?" Umma tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Rasanya dia tidak setuju dengan keputusan menantunya. Merawat Kala yang bukanlah siapa-siapanya bukanlah kewajiban Gina dan Sean. Anak itu hanya akan menjadi beban di pernikahan mereka yang bahkan belum genap satu tahun ini.

Gina bisa mengartikan raut tidak suka yang Umma tunjukkan, tapi Gina serius dengan apa yang ia katakan. Dia sungguh ikhlas untuk membesarkan Kala. "Gina serius, Umma. Gina ngga keberatan untuk merawat Kala. Kami berdua bisa jadi orangtua buat Kala."

"Nak, dengerin Umma," Umma meraih tangan Gina lalu menggenggamnya sebagai sarana menyalurkan perasaan. "Kamu dan Sean masih sangat muda. Kalian juga baru menikah. Di masa depan, akan ada banyak sekali ujian yang perlu dihadapi. Keberadaan Kala, nantinya akan menjadi beban buat kalian. Kalian tentu bakal punya anak sendiri kan? Lalu, bagaimana kalau sewaktu-waktu anak kalian merasa iri dengan Kala? Bagaimana kalau dia mengetahui kalau Kala bukanlah Kakak kandungnya dan tercipta jarak diantara mereka?"

"Umma ngga perlu mengkhawatirkan itu, insyaAllah kami berdua dapat adil sebagai orangtua. Gina dan Sean juga sebisa mungkin akan berusaha mendidik anak-anak kami agar tumbuh dengan sifat pengertian. Sehingga kalau nanti dia tahu Kala bukan Kakak kandungnya, dia ngga menganggap Kala sebagai orang asing."

Umma terdiam cukup lama. Sepertinya keputusan Gina sudah bulat dan pendapatnya tidak lagi mempan. Dengan berat hati, wanita berusia setengah abad itu mengakhiri pembicaraan mereka dengan mengiyakan keinginan Gina. "Umma hargai ketulusan hati kamu. Umma harap, ke depannya hidup kamu dan Sean akan terhindar dari segala marabahaya. Jikapun ada masalah yang datang, kalian harus bisa saling menguatkan ya? Kamu bisa juga cerita ke Umma, kan sekarang Gina udah jadi anak gadisnya Umma."

"Makasih, Umma!" Gina berseru kegirangan. Dipeluknya Umma dengan erat. "Gina sayaaaaang sekali sama Umma."

"Umma juga sangat sayang sama Gina," balas Umma sambil menepuk-nepuk punggung Gina. "Jadi, kamu udah siap untuk ketemu Sean?"

Gina melemas di pelukan Umma, dia masih bingung harus apa jika bertemu Sean. "Gina ngga tahu. Takut canggung kalo ketemu Sean. Gimana ya?"

"Kamu tenang aja, nanti Umma yang bantu bicara sama Sean kalau kamu belum siap. Mau ya?"

"Iya, Umma."

Umma melepas pelukan, kemudian membersihkan sisa-sisa air mata di pipi Gina dengan jemarinya. "Sekarang kamu istirahat ya. Besok kita bikin kue bareng sebelum Sean datang."

"Umma, Gina malu."

"Malu kenapa? Sama suami sendiri kok malu?"

"Gina ngga tahu kenapa bawaannya malu terus kalo di dekat Sean. Padahal udah lama tinggal sama-sama, tapi tetep deg-degan ngga jelas kayak ABG."

Umma tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Lucu sekali menantunya ini. Wajar saja Sean rela mempertahankan status single nya selama bertahun-tahun demi mempersunting Gina.

"Kok Gina malah diketawain?"

"Ngga papa, Umma cuma ngerasa lucu aja denger omongan kamu. Ya wajar lah deg-degan gitu, namanya juga masih baru. Apalagi kalian udah lama pisah, terus waktu ketemu langsung nikah. Jadi bawaannya kayak masih pacaran."

"Hehe, mungkin begitu, Umma."

"Ya udah, ini cookies sama susunya dihabisin, terus jangan lupa istirahat jangan begadang," Umma berdiri. "Umma keluar dulu ya."

"Siap, Umma!"

Setelah Umma keluar dan menutup pintu kamar, Gina memegangi dadanya sendiri yang berdetak tidak karuan membayangkan kedatangan Sean esok hari.

***

Forgive Me | Sehun X SeulgiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang