(4) Dua Orang Asing yang Tinggal Satu Atap

15 3 0
                                    

Tempat dimana Sean dan Gina berhenti adalah sebuah toko yang menjual banyak barang lucu seperti gelang, boneka, dan perlengkapan lainnya. Toko ini adalah toko yang biasa mereka datangi setiap pulang sekolah, hampir setiap hari mereka kemari untuk sekedar membeli barang-barang couple yang berakhir menumpuk sebagai sesuatu yang tak berguna.

Saat masuk, sudah banyak yang berubah. Sean cukup takjub karena toko ini masih ramai dan isinya bertambah lengkap dibanding dulu. Sedangkan Gina, dia tetap beberapa kali datang kesini sendirian selama kepergian Sean, jadi baginya tak ada hal baru disini.

"Gina."

"Apa?"

"Ayo beli gelang."

Gina hanya bisa pasrah saat tangannya ditarik oleh Sean menuju ke tempat dimana berbagai aksesoris lucu berjejer. Kenangan tentang hari lalu kembali berputar di kepalanya. Dulu, dia teramat senang berlama-lama di bagian ini bersama Sean, mereka memiliki banyak gelang dan cincin yang sama.

"Kamu mau yang mana?" Sean menatap dengan serius gelang manik-manik yang terdiri dari bermacam warna. "Biru mau ngga? Atau kamu mau yang pink?"

Gina tidak menjawab, ia fokus dengan sebuah gelang manik-manik kecil berwarna hitam yang pasti akan terlihat bagus di tangan Sean. Ia ragu untuk mengambilnya, tetapi di sisi lain Gina juga ingin memilihkan sesuatu untuk laki-laki itu sama seperti yang Sean lakukan untuknya. Jika kali ini dirinya menekan egonya dan sedikit bersikap baik, tak masalah kan?

"Na," Sean dengan senyumnya menoleh dan menyodorkan gelang berwarna biru muda ke arahnya. Warna favorit laki-laki itu. "Yang ini mau ya? Pasti bagus di kamu."

Gina meraih gelang itu, kemudian dengan kaku ikut menyodorkan gelang pilihannya tadi untuk Sean.

"Buat aku?" Sean bertanya dengan tidak percaya setelah menerima gelang tersebut.

Gina mengangguk.

"Makasih, Gina!" serunya kemudian. "Bagus banget pilihan kamu, ini ngga akan aku lepas-lepas, aku pake terus!"

Gina sekarang rasanya ingin sekali tersenyum. Reaksi Sean masih sama seperti dulu setiap kali diberi sesuatu. Tetapi, lagi-lagi hatinya terasa sesak jika mengingat masih ada hal yang suaminya itu sembunyikan hingga kini. Gina merasa tidak mau kalah selama Sean belum memberitahukan alasan mengapa ia meninggalkan Gina tanpa alasan. Katakanlah ia kekanak-kanakan, namun Gina tak akan semudah itu untuk menerima Sean lagi dengan lapang dada jika masih ada sesuatu yang dirahasiakan.

"Kamu mau beli apa lagi?" tanya Sean.

"Ngga ada."

"Kok ngga ada sih?" Sean merengut, "Kita udah lamaaa banget ngga kesini berdua. Masa cuma beli gelang doang?"

Gina menghela nafas, "Terus apa lagi?"

"Apa aja, jika perlu kita karungin semua barang disini," Sean kembali menarik tangan Gina dan menyeretnya dengan paksa ke arah barang-barang random di rak lain. "Wuaaaah, iket rambutnya bakal lucu banget nih kalo kamu yang pake. Eh, ini gantungan kuncinya boleh juga. Duh, Gina, andai aja kita masih sekolah, bakal gemes banget kalo kaos kaki kita samaan!"

Seakan tersihir dengan rentetan ocehan yang keluar dari mulut Sean, Gina tanpa sadar termenung bahkan sampai bergumam, "Kamu masih sama..."

Sean sontak menolehkan kepalanya dan mendapati Gina yang termenung menatapnya. Rasanya sedih, entah apa yang bisa ia lakukan untuk menebus perbuatannya selama ini. Sean jelas paham bahwasanya Gina juga sama rindunya dengan masa-masa mereka dulu, tapi sakit yang perempuan itu rasakan membuatnya mati-matian menahan diri untuk tidak menunjukkan kerinduannya itu meskipun teramat ingin.

"Gina," panggil Sean.

Gina langsung tersadar dari lamunannya itu. "Oh, maaf."

Untuk menutupi rasa malunya yang kepergok menatap Sean dengan terang-terangan seperti itu, Gina berjongkok dan berpura-pura memilih mainan di rak paling bawah. Ia membolak-balik sebuah papan ular tangga dengan jantung berdebar. Gina merasa seperti orang bodoh.

Cukup lama ia berada di posisi itu, sampai-sampai Gina tidak menyadari kalau Sean sejak tadi sudah mengambil banyak barang dengan membabibuta. Bagaimana tidak, saat Gina kembali berdiri, ia langsung dikagetkan dengan keranjang di tangan Sean yang sudah terisi penuh.

"Kenapa?" Sean bertanya seakan tak ada yang salah. "Kok kamu kaget gitu? Aku ambilin keranjang baru mau?"

"Jangan, udah cukup."

Sean mengangguk paham, lalu menatap sesuatu di tangan Gina. "Wah, kamu mau pake itu? Yang satunya buat siapa?"

Gina tadi mengambil dua buah gelas bergambar beruang dan kucing. Ia memang ingin membeli itu untuk ia pakai bersama Sean di rumah, namun rasanya Gina tidak bisa mengatakan itu secara langsung kepada Sean.

"Siapa aja."

Sean memicingkan matanya, "Buat aku ya pasti?"

Gina memutar bola matanya, merasa jengah, "Udah belom ini?"

"Kamu udah bosen ya?"

"Iya lah, orang udah sering kesini."

"Hah? Kesini sama siapa?"

"Menurut kamu sama siapa?" Gina berjalan mendekat dan memberi tatapan menusuk. Berharap Sean paham semua hal bodoh yang mungkin ingin laki-laki itu lakukan di masa sekarang, sudah lebih dulu Gina lakukan sendirian. "Emang aku harus ngajak siapa, kalo orang yang biasa kesini sama aku tiba-tiba hilang, huh?"

"Gina, aku minta—"

Sebelum Sean melanjutkan kalimat minta maafnya yang entah sudah kali keberapa itu, Gina lebih dulu menyela. "Sean, kamu pasti berpikir kalau dengan cara mengganti hari-hariku yang terlewati tanpa kamu seperti sekarang ini, aku perlahan-lahan akan maafin kamu dan nerima kehadiran kamu sepenuhnya di hidup aku kan?"

Sean diam. Menatap dalam iris mata Gina yang penuh dengan kekecewaan. Demi apapun, Sean detik itu menuturkan seribu sumpah serapah untuk dirinya sendiri.

"Nyatanya ngga semudah itu, Sean." Gina melanjutkan. "Aku ngga perlu semua ini. Aku ngga mengharapkan apa-apa dari kamu. Seandainya aja, kamu mau lebih menyederhanakan ini dengan jujur perihal alasan kamu ninggalin aku, entah itu alasan terburuk sekalipun, aku akan tetap terima kamu."

"Aku juga mengalami kesulitan, aku juga sama tersiksanya saat jauh dari kamu," Sean menjawab. "Tapi, bukan berarti aku merasa ngga bersalah sama kamu, Na. Aku jelas salah mau dilihat dari segi manapun. Alasan aku pergi dari kamu ngga seenteng itu buat diceritain, aku masih butuh waktu untuk itu."

"Waktu, ya?" Gina bertanya dengan sorot mata meremehkan. "Butuh berapa lama, hah? Kamu mau tujuh tahun tambahan?"

"Na..."

"Kenapa?"

"Aku pasti bakal kasih tahu kamu, tapi ngga bisa sekarang."

Gina mengangguk paham, "Boleh. Kamu boleh mempersiapkan diri kamu selama mungkin. Cuma ada satu hal yang perlu kamu inget tentang kesepakatan ini, Sean. Selama kamu masih merahasiakan alasan kamu itu, jangan pernah berharap aku bakal memperlakukan kamu layaknya suami aku sendiri di rumah."

"Maksudnya?" Sean mendadak panik, ia merasa ini akan menjadi keadaan yang sulit untuk kedepannya. "Aku masih boleh dong masuk ke kamar kamu? Rawat kamu misal kamu sakit?"

"Engga, itu ngga akan terjadi lagi di hari-hari berikutnya." Gina membalas. "Kita punya dunia masing-masing. Anggep kita cuma dua orang asing yang kebetulan harus tinggal satu atap. Tolong digaris bawahi."

***

Forgive Me | Sehun X SeulgiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang