(5) Dan Kau Bisikkan Kata Cinta

20 3 0
                                    

(2015)

Sejujurnya, hal yang paling Sean hindari selama hidupnya adalah perempuan. Kecuali Umma, Sean menganggap semua perempuan itu menyebalkan. Mereka berisik. Hal ini Sean ungkapkan karena banyaknya cewek genit yang mendekatinya saat SMP dulu. Bahkan, ketika ia baru resmi menyandang status sebagai siswa SMA, hal semacam itu tetap tak dapat ia hindari.

"Ada Kakak kelas yang minta nomor lo lewat gue," Dia Gerald. Teman satu SMP Sean yang sejak hari pertama sekolah sudah dijadikan para siswi di sekolah sebagai tempat menggali informasi tentang Sean. Bahkan, Gerald pernah memperjualbelikan nomor Sean, namun naas yang cewek-cewek itu dapatkan malah nomor tukang sedot WC.

Sean diam. Ia sibuk mengunyah sari roti rasa kejunya dengan khidmat.

"Kasih ngga?"

"Berani lo kasih, gue patahin leher lo."

"Dih," Gerald merengut di tempatnya. Sean itu terlalu cuek, bahkan menurutnya udah kelewat sombong. Kalau saja Gerald dianugerahi wajah setampan cowok itu, dia akan dengan senang hati membiarkan dirinya menjadi rebutan di sekolah.

Sean meremas bungkus rotinya hingga membentuk seperti bola, kemudian memain-mainkanya selagi berjalan keluar dari kelas. Ia bahkan mengabaikan teriakan Gerald yang bertanya perihal kemana dirinya ingin pergi. Sean sudah muak melihat wajah menyebalkan Gerald, berita yang temannya itu bawa tidak jauh-jauh dari masalah cewek, cewek, dan cewek.

"Biarlah, biarlah, hariku dan harimu..."

Sean menolehkan kepalanya hanya untuk mencari-cari sosok yang barusan menyenandungkan lagu milik Sheila on 7 yang berjudul 'Kita' tersebut. Entah kenapa, ia mendadak penasaran perihal siapa orang tersebut. Mungkin ini juga efek samping karena telinganya terlalu sering diperdengarkan lagu-lagu My Chemical Romance, Oasis, Green Day, serta musik rock lainnya saat berkumpul dengan teman setongkrongannya. Akibatnya, Pangestu Sean Jayadana, si pecinta Dewa 19 dan Sheila on 7 garis keras merasa takjub begitu mengetahui ada orang lain yang selera musiknya sama dengannya di sekolah ini.

"Dan kau bisikkan, kata cinta," Ternyata rasa penasaran Sean terjawab. Seseorang yang bersenandung itu baru saja berjalan melewatinya. Dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai, serta buku paket biologi yang dia peluk erat-erat, langkah gadis itu terlihat ringan berayun-ayun bersamaan dengan suaranya yang menjadi satu-satunya fokus indera pendengaran Sean siang ini. "Kau t'lah percikkan, rasa sayang..."

"Pastikan kita, seirama..." Sean sendiri tidak mengerti, kenapa mulutnya dengan sengaja melanjutkan lirik lagu yang keluar dari mulut gadis bertubuh mungil itu. Bukan mungil lagi, malah jika Sean meletakkan gadis itu di atas dispenser, mungkin gadis itu tidak akan tahu bagaimana cara turun saking pendeknya.

Yang diperhatikan sejak tadi akhirnya menoleh, menatap bingung ke arah Sean dengan kedua alis yang menukik lucu. Demi apapun, Sean sendiri pun bingung kenapa bisa-bisanya sekarang ini ia malah menunggu untuk dipintai nomor telepon, atau mungkin sekedar diajak berkenalan oleh gadis itu.

"Suka Sheila on 7 juga, ya?"

Sean mengangguk.

"Kamu suka siapa?" tanyanya dengan nada bicara yang terdengar antusias. Alisnya tak lagi bertaut, berganti dengan ekspresi bahagia seakan baru saja menemukan harta karun yang terkubur ribuan tahun di bawah tanah. "Aku sukanya Mas Eross, ngga boleh sama, titik!"

"Aku juga suka Eross," jawab Sean yang berjalan mendekat sampai dirinya dapat melihat wajah pemilik senyum manis itu dengan leluasa. "Gimana dong?"

"Ih, kan aku—" Padahal Sean yakin tadinya gadis itu ingin marah, namun entah kenapa dia berhenti dan lagi-lagi tersenyum. "Ya udah deh ngga papa samaan. Jarang-jarang juga nemuin anak di sekolah ini yang suka Sheila on 7. Lagian, kamu kan cowok. Jadi ngga masalah kalo Mas Eross nya dibagi."

"Jadi, Eross milik kita bersama, nih?"

Gadis itu mengangguk semangat.

Sean untuk pertama kalinya tersenyum. Gambaran mengerikan tentang betapa agresifnya para siswi yang mengejar-ngejarnya tiba-tiba saja lenyap karena pertemuannya dengan makhluk yang tingginya hanya sebatas bahu Sean ini. "Kalau boleh tahu, nama kam—"

Belum sempat Sean melanjutkan kalimatnya, si cantik tiba-tiba saja menepuk jidatnya keras-keras. "Oh iya, aku kan harus bahas soal biologi bareng Irene. Ngapain aku stop disini?"

Tanpa ba-bi-bu lagi, dia langsung melesat pergi dari hadapan Sean dan menghilang hanya dalam hitungan detik saja. Dia terlihat seperti seekor kucing bertubuh kerdil milik tetangganya yang hobi lari-larian dan merusak pot-pot tanaman milik Umma di rumah. Bedanya, Sean yakin dirinya tidak akan kesal jika saja kucing tetangganya itu memiliki paras secantik dan semanis orang yang berlari kencang barusan.

Omong-omong, Sean gagal mengetahui nama gadis itu. Baru kali ini juga ada seorang gadis yang berlalu dan mengabaikannya begitu saja tanpa berniat untuk mengajaknya berkenalan seperti yang sudah-sudah. Kalau boleh jujur, Sean kecewa. Ternyata, privilege muka tampan yang kata orang-orang dapat membuat kita dengan mudah menggaet siapa saja tidak berlaku hari ini. Jarang-jarang sekali Sean merasa rendah diri sampai-sampai di otaknya secara random terlintas sebuah pertanyaan; Apa mukaku ngga sesuai sama standar cowok idamannya ya?

Ah, Sean jadi teringat sebuah obrolan tidak bermutu bersama sepupunya di acara kumpul keluarga beberapa minggu lalu. Sepupunya yang seumuran dengan Sean itu bercerita perihal rencananya untuk menyatakan perasaan kepada gadis yang sudah lama ia suka. Sean tentu saja mendukungnya, mengatakan bahwa tak ada gunanya mengulur-ulur waktu jika diantara keduanya memang sudah klop dan tak ada hal yang perlu dikhawatirkan lagi.

Namun, sepupunya bilang kalau dia merasa rendah diri. Dia merasa tidak pantas untuk bersanding dengan sang pujaan hati karena baginya gadis itu terlalu sempurna.

"Lo goblok ya? Kalian berdua udah deket lama, dan lo ngerasa kalo si cewek udah ngasih sinyal-sinyal yang nunjukkin kalo dia juga suka sama lo. Tapi, sekarang dengan tololnya lo masih ragu buat nembak?"

Sean ingat betul bagaimana kesalnya ia hari itu.

"Ah elah, Sean, lo paham apaan sih? Pacaran aja ngga pernah." Sepupunya itu kemudian mengeluarkan sebuah kalimat yang pada hari ini Sean akui kebenarannya. "Nih ya, bagi gue, titik dimana lo bener-bener suka sama orang itu adalah saat lo ngerasa belum cukup pantes buat bersanding sama dia. Ketika di dekat dia, lo selalu memikirkan 'apa gue udah masuk ke dalam kriteria cowok idamannya atau belum? Bagian apa yang bikin dia bisa suka sama gue? Dan apa dia bakal bahagia kalo pacarnya adalah gue?' Begitu Saepudin!"

Sean sendiri tak dapat mengakuinya secara gamblang untuk saat ini. Mana mungkin juga dia langsung jatuh cinta hanya dalam satu kali pandang saja kan? Merasa ada yang aneh dengan pikirannya, Sean langsung menepis segala hal yang sempat membuatnya sejenak tertarik untuk memikirkan sosok asing yang entah siapa namanya itu. Kesimpulan yang bisa Sean ambil adalah; dirinya hanya takjub karena masih ada cewek normal yang tidak menggilai ketampanan Pangestu Sean Jayadana.

***

Forgive Me | Sehun X SeulgiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang