(2) Ruang Nostalgia Aku dan Kamu

23 4 0
                                    

Sean mondar-mandir di depan kamar Gina. Ya, mereka memutuskan untuk pisah kamar sementara ini. Setidaknya, sampai Sean berhasil meluluhkan hati Gina agar mau satu kamar dengannya. Namun, itu semua tentu saja akan sangat sulit mengingat betapa kerasnya hati Gina.

TOK TOK TOK!

Sean merasa aneh sendiri karena harus mengetuk pintu terlebih dahulu, padahal ia bisa saja langsung masuk karena yang ada di dalam sana adalah istrinya sendiri. Sean merasa khawatir karena Gina sejak pagi hingga siang ini belum juga keluar kamar.

"Gina, kamu lagi apa di dalem?"

"Gina..."

TOK TOK TOK!

"Kamu baik-baik aja kan?"

Sean menatap kotak berisi kue red velvet kesukaan Gina di tangannya. "Aku bawain kue kesukaan kamu. Ayo keluar, kita makan sama-sama."

Tak mendapati jawaban dari Gina membuat rasa khawatir Sean kian memuncak. Ia merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci cadangan dari sana, lalu dengan tergesa-gesa membuka pintu kamar.

"Astaga," Sean langsung menjatuhkan kotak kuenya begitu saja dan berlari menghampiri Gina yang terbaring di lantai. Awalnya, ia sempat memiliki pikiran negatif dan mengira Gina berusaha bunuh diri. Namun, saat tangannya menyentuh kening dan leher perempuan itu, barulah ia mengetahui kalau istrinya sedang demam. "Badan kamu panas."

Gina berusaha mendorong Sean menjauh, tapi itu percuma karena ia tak bertenaga sama sekali. "Kenapa kamu masuk ke kamar sembarangan? Aku ngga suka.''

"Iya, Sayang, maaf," jawab Sean sambil mengangkat Gina ke dalam gendongannya. Ia hendak membawa Gina ke rumah sakit sekarang juga.

"Lepasin aku...." Gina meracau. "Aku ngga mau disentuh kamu."

***

Mereka berdua dilanda kecanggungan begitu tiba di rumah. Gina yang biasanya mencak-mencak saat disentuh, hari ini hanya bisa pasrah karena tubuhnya terasa sangat lemas. Dia tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan Sean. Seperti sekarang, Sean dengan telaten menyeka wajah, leher, serta bagian tubuh Gina yang tidak tertutup pakaian dengan kain basah.

"Hari ini ngga mandi dulu ngga papa ya?"

Gina mengangguk menjawabnya.

"Tadi kan udah makan, minum obat, berarti kamu sekarang harus istirahat," Sean yang tadinya duduk bersama Gina di atas sofa langsung berdiri. "Mau aku gendong?"

Mendengar itu Gina salah tingkah sendiri, sebelum Sean menyadarinya perempuan itu langsung berdiri meskipun kepalanya terasa mau pecah karena gerakan tiba-tiba tersebut. "Ngga usah."

"Pelan-pelan."

Sean membukakan pintu dan ikut masuk ke dalam kamar Gina. Ia tidak ingin membiarkan istrinya itu sendirian setidaknya sampai benar-benar sembuh. Namun, Sean tidak yakin Gina akan mengizinkannya untuk tinggal disana bersama.

"Kenapa ikut masuk?" Gina menoleh saat dirinya tiba di samping tempat tidur.

Sean tersenyum, "Boleh minta izin temenin kamu ngga?"

Oh ayolah, mereka bukan lagi sepasang remaja yang baru belajar memadu kasih seperti tujuh tahun yang lalu. Dirinya dan Sean bukanlah anak SMA berusia tujuh belas tahun lagi sekarang. Tetapi, kenapa Gina merasa seperti baru pertama kali diperlakukan manis begini? Getar yang meraba jiwanya seakan membuat Gina berada dalam fase pendekatan sebelum berpacaran. Padahal, Sean sudah menjadi suaminya.

"Iya."

"Beneran?" Mata Sean berbinar.

Terkadang Gina heran sendiri, Sean itu aslinya adalah laki-laki yang sulit didekati. Dia tidaklah semurah senyum ini, dia juga tidak banyak bicara jika diluar, namun ia akan berubah seratus delapan puluh derajat jika didekat Gina. Mengapa kamu begini, Sean? Andai saja tak ada kata 'meninggalkan' di tengah mulusnya kisah kita, mungkin aku akan menjadi perempuan yang paling bahagia karena memilikimu.

"Iya."

Gina naik ke atas kasurnya, kemudian berbaring disana. Sementara Sean, ia mengambil posisi duduk di sisi lain kasur, tepat di sebelah kanan Gina. Tanpa bicara, mata laki-laki itu menelisik setiap inci pahatan wajah Gina. Gina-ku masih cantik seperti dulu. Selalu cantik.

Sampai akhirnya Gina berdeham untuk membuyarkan lamunan Sean. Ia merasa tidak nyaman dipandangi seperti itu.

"Kamu masih simpen album foto kita dulu?"

Masih, Gina masih menyimpan album foto yang ia isi bersama Sean selama mereka tiga tahun menjalin kasih. "Iya."

"Dimana?"

Telunjuk gina mengarah pada lemari pakaian di sudut kamarnya, "Di dalem situ ada box warna hijau, cari disana."

Sean menurut dan berjalan ke arah lemari pakaian Gina. Setelah menemukan apa yang dia cari, laki-laki itu kembali naik ke atas kasur untuk membuka album foto mereka bersama.

Jantung keduanya sama-sama berdebar saat membaca tulisan di cover album foto tersebut; Ruang Nostalgia Sean dan Gina.

Sean membuka lembar pertama, disana ada dirinya dan Gina yang berfoto sambil memegang rapot masing-masing. Wajah keduanya imut khas anak SMA, mereka saat itu baru duduk di bangku kelas sepuluh. "Ini yang waktu itu fotoin kita siapa ya?"

"Gerald."

"Oh, iya, Gerald," Sean sontak tertawa. Sudah lama ia tak bertemu teman dekatnya semasa SMA itu. Terakhir kali, ia hanya mendengar kabar bahwa Gerald telah menikah dan pindah ke Jepang mengikuti sang Istri. "Fotografer setia Sean dan Gina.

Gina diam dan ikut menikmati kegiatan mengenang masa indah mereka dulu. Sejujurnya ia juga ingin tertawa bersama Sean, namun gengsinya lebih mendominasi dan berujung membuatnya susah sendiri.

"Kamu kecil banget disini," Sean menunjuk sebuah foto dimana dirinya dan Gina memakai pakaian adat saat ada acara di sekolah mereka. "Sampe sekarang juga masih tetep mungil."

"Tinggiku 160," Entah kenapa Gina reflek mengatakan itu saking tak terima tinggi badannya dihina padahal jelas sekarang sudah bertambah.

"Nambah 5 cm doang," balas Sean sengaja menggoda. "Kamu manusia apa ubi jalar?

Alis Gina bertaut, sepertinya karena terbawa suasana, ia jadi larut dalam candaan Sean yang membuatnya terpancing. Perempuan itu mengulurkan tangannya untuk menjambak rambut Sean dengan ganas, "MAKSUDNYA APA NGATAIN UBI JALAR?!"

Sean yang dijambak hanya tertawa, "Keangkat nanti kulit kepala aku!"

"Biarin!"

Aslinya, Gina adalah tipe perempuan yang mudah kesal dan banyak bicara, hanya saja karena keadaan mereka sekarang sudah berbeda, Gina berusaha sebisa mungkin untuk tidak menjadi Gina yang gampang excited dan ceria seperti dulu.

"Emang ubi jalar kok, atau biar kerenan dikit ganti jadi botol yakult deh."

Gina menyerang Sean dengan asal, hingga tanpa sadar tangannya menarik kerah baju laki-laki itu dan sekarang Sean bertumpu dengan dua tangannya agar wajahnya tidak bertabrakan dengan wajah Gina dibawah.

Gina melepas cengkramannya dari kerah Sean, berharap suaminya akan segera menarik diri dan menjauh darinya. Namun, yang Sean lakukan selanjutnya malah mengundang Gina untuk melayangkan pukulan maut.

"SEAN!"

Sean baru saja mencium pipinya tanpa izin.

***

Forgive Me | Sehun X SeulgiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang