Pertemuan

4 1 0
                                    


Seorang gadis berdiri di halte sembari melihat sekilas jam di pergelangan tangannya. Ia tampak begitu cemas dan kesal, pasalnya jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun orang yang ia tunggu-tunggu belum sampai juga. Orang yang ingin ia temui menyuruhnya untuk menunggu di halte bus.

"Ah! Mana hujannya makin deras! Dingin lagi! Makhluk menyebalkan satu ini mau mengerjaiku atau bagaimana?! Kuhitung sampai sepuluh, kalau busnya belum datang aku akan pulang!" gerutunya.

Ia mulai menghitung satu sampai sepuluh, tetapi tak ada satupun tanda-tanda bus yang akan datang. Gadis itu kembali menghitung dan hasilnya nihil. Ia sudah menunggu selama sejam lebih, katanya bus yang ditumpangi sepupunya akan tiba di jam setengah delapan malam dan sekarang sudah menunjukkan pukul sembilan.

Jaket biru muda yang ia kenakan tak mampu menahan dinginnya malam, ditambah ia hanya memakai rok hitam selutut. Ia tak menyangka akan turun hujan, awalnya langit tampak cerah, bulan dan bintang bersinar begitu indah di langit. Namun, tak disangka tiba-tiba saja hujan turun. Parahnya ia tak membawa payung.

Rumah gadis itu sebenarnya tidak terlalu jauh dari halte, mungkin sekitar sepuluh menit jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, tetapi sialnya hari ini motor miliknya rusak, jadi ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju ke halte yang lumayan membuat kakinya pegal-pegal. Sebenarnya ia tidak mau menjemput sepupunya, tapi mau bagaimana lagi. Ini pertama kali untuk sepupunya berkunjung ke kota yang ia tinggali saat ini. Ia juga tidak mau kalau dirinya jadi sasaran kecerewetan ibu sepupunya, jika makhluk menyebalkan itu tersesat.  

Walaupun jarang bertemu, ia dan sepupunya sering bertukar kabar via telepon. Saking seringnya ia sampai memberi julukan Makhluk Menyebalkan untuk sepupunya, karena menurutnya tingkah sepupunya itu menyebalkan dan tidak tahu aturan.

Ia mengecek handphone miliknya, tetapi tak ada tanda-tanda jika pesannya dibalas oleh makhluk menyebalkan itu. Jangankan dibalas, dibaca saja tidak. Kemudian ia berinisiatif untuk menelpon, namun nomor yang dituju tak bisa dihubungi. Hal itu membuatnya cemas.

"Ini anak! Awas aja! Bakalan kujitak kepalanya! Berani-beraninya dia membuatku cemas! Mana sendirian lagi! Hadeeeh! Orang gila mana yang mau hujan-hujan begini datang di halte, mana sudah jam sembilan malam!" Ia menghentakkan kakinya dengan kesal seraya menatap layar ponselnya. Untungnya halte bus itu lumayan teduh, jadi gadis itu tak kebasahan.

Di tengah rasa kesal yang membuncah, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapannya. Seseorang yang berada di kursi pengemudi menurunkan kaca mobilnya sembari meraih sesuatu yang ada di kursi belakang.  Setelah berhasil meraihnya, pemilik mobil itu turun dengan sebuah payung cokelat.

Pemilik mobil itu adalah seorang pemuda berwajah manis mengenakan kacamata yang tampak begitu cocok dengannya. Langkah pemuda itu berhenti tepat di hadapan seorang gadis yang tengah menatap cemas ponselnya. Ia ingin tahu apakah gadis itu sedang menunggu bus untuk pulang atau menunggu seseorang. Ia ingin memberi tumpangan pada gadis itu, jadi ia ingin memastikan.

"Hai," sapa pemuda itu. Ia juga tidak tahu apa yang membuatnya tertarik menghentikan mobilnya dan memilih untuk menawari gadis ini untuk pulang bersamanya. Gadis di hadapannya hanya menatap heran dan penuh tanda tanya.

Jangan-jangan gadis ini menganggapku pemuda mesum yang ingin menjerat korbannya, batin pemuda itu.

"Jangan takut. Saya bukan orang mesum."

Gadis itu menelisik dari ujung kepala hingga ujung kaki pemuda itu. Memastikan bahwa apa yang dikatakannya benar, kalau dia bukan orang mesum. Namun, ia belum bisa percaya sepenuhnya.

"Jangan ... jangan ... kau penculik!" Gadis itu mundur selangkah.

"Bukan." Pemuda itu menyanggah tunduhan yang dilayangkan padanya.

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang