Piknik

4 1 0
                                    

"Hana, pencet belnya." Ana mendorong punggung Hana, memaksanya untuk menekan bel rumah Karin.

"Sabar, dong! Jangan sampai kepalamu yang aku pencet." Hana menyikut lengan Ana.

Hana menekan bel sebanyak tiga kali, tapi belum ada tanda-tanda jika Karin keluar.

"Kariiin!" teriak Mira.

"Kariiin! Kariiin! Kariiin!" Hana dan Ana ikut berteriak.

"Mungkin Karin masih tidur," Mira berasumsi.

"Hmmm ... bisa jadi," Ana membenarkan asumsi Mira.

"Kariiin! Main, yuuuk!" teriakan Mira kali ini membuat Hana tertawa.

"Dih, kayak bocah lagi manggil temannya buat main." Hana tertawa sambil memukul bahu Mira pelan.

"Kar ...." Belum sempat Ana menyerukan nama Karin, tiba-tiba gagang pintu bergerak, pertanda pemilik rumah tengah membuka pintu.

Orang yang namanya mereka seru-serukan tadi akhirnya keluar juga. Karin berdiri di hadapan mereka dengan rambut acak-acakan dan wajah sembab khas orang yang baru bangun tidur.  

Karin menggaruk kepalanya sambil menguap. "Kalian bertiga ngapain, sih, pagi-pagi di sini?"

"Eh, anu ...." Hana kebingungan.

"Kalian masuk dulu." Karin menyingkir dari pintu, mempersilahkan ketiga temannya untuk masuk. Ia menyuruh ketiga temannya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Kalian ngapain, sih, ke sini pagi-pagi?" Karin mengulangi pertanyaannya.

Hana menarik napasnya pelan. "Begini, kami mau minta maaf soal kejadian kemarin."

"Minta maaf? Memangnya ada kejadian apa kemarin? Jangan ngaco, aku masih ngantuk ini." Lagi-lagi Karin menguap.

"Enak, yah, punya teman pelupa." Mira tertawa.

"Karin, kamu beneran lupa?" Ana menggelengkan kepalanya tidak percaya.

"Lupa apa?" Sebenarnya Karin mengingatnya, ia hanya ingin menguji kesabaran ketiga temannya.

"Ck! Kalau bukan karena datang minta maaf, sudah kupukul kepalamu, yah." Hana mulai kesal.

"Iya, aku ingat. Aku tidak sepikun itu, yah! Daya ingatku masih kuat loh ini." Karin mendelik.

"Bagus kalau begitu. Kami minta maaf soal kemarin. Kami tahu itu kelewatan," ucap Hana dengan penuh rasa bersalah.

"Kelewatan banget! Bahkan, kusuruh mundur pun bakalan tidak bisa. Itu sudah kelewatan banget, banget, banget, nget ... nget ...." Karin mulai melebih-lebihkan, padahal kemarin ia hanya kesal dan ingin memukul kepala mereka satu-satu, terutama Oden. Ia jengkel kenapa Oden begitu tinggi, membuatnya kesusahan mengambil handphone-nya.

"Lebay! Intinya, kami minta maaf. Aku serius nanya, kamu masih marah?" Ana menatap Karin penuh harap.

"Justru kalian yang lebay. Siapa juga yang marah, meskipun kemarin itu aku pengen mukul kalian satu-satu. Terutama si otak di balik kejahilan kemarin. Malu tahu! Damar nyangkanya itu aku, untung bisa kujelasin sama dia kalau yang ngirim pesan itu kalian. Mana Hana ngirim emot love-nya kebanyakan. Jijik tahu!"

Mereka bertiga hanya terkekeh sambil menggaruk kepala mereka yang tidak gatal sama sekali.

"Kamu jadi ikut ke pantai? Kamu harus ikut, yah, awas kalau tidak! Soalnya, kami sudah patungan sewa mobil pless ngajak Damar ikut. Bodohnya kami, kami tidak kepikiran kalau si Damar punya mobil. Kalau tahu dia punya mobil, mending nebeng sama dia, daripada ngeluarin duit lagi," terang Hana panjang lebar ditambah ada sedikit pemaksaan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang