Pukul enam sore Karin sudah rapi mengenakan dress ungu selutut, jam tujuh malam nanti akan ada acara keluarga. Entah acara apa ia juga tidak tahu. Sebenarnya ia malas mengikuti acara ini, ia takut jika di sana dirinya hanya dijadikan bahan ledekan dari orang-orang yang niat mengganggu ketenangannya.Erin juga diundang. Bahkan, kedua orangtua sepupunya itu sudah berada di sana sejak tadi, dan menunggu kedatangan mereka berdua. Tadinya ia tidak ingin datang, tapi Erin memaksanya untuk tetap ikut.
Karin duduk di sofa sambil bersungut-sungut, ia sudah kegerahan karena menunggu Erin yang berdandan begitu lama. Ia tidak suka ketika dirinya sudah siap untuk berangkat, tapi masih ada yang harus ditunggu.
"Erin, cepat!" Karin berteriak dari ruang tamu.
"Sabar! Dikit lagi, kok!" balas Erin dari dalam kamar.
"Cepat! Taksi yang aku pesan udah mau nyampe depan! Ayo, cepat!"
Di tengah kekesalannya, tiba-tiba terlintas niat usil di kepala Karin. Karin mengendap-endap menaiki undakan tangga menuju kamarnya di lantai dua, tempat di mana Erin fokus mematut dirinya di cermin.
Erin masih sibuk di depan cermin, ia tidak memperhatikan Karin yang berjalan di belakangnya. Karin mendekati saklar lampu.
"Mamaaa!" Erin berteriak ketakutan ketika tiba-tiba di sekelilingnya menjadi gelap. Ia meraba-raba di sekitarnya. Ia tahu ini ulah Karin.
Karin berdiri di pojok kamar sambil menutup mulut menahan tawa.
"Karin, ini tidak lucu! Nyalain lampunya!"
Karin masih memilih diam.
"Karin, jangan bercanda! Aduh, saklar lampunya di mana, sih?" Erin mencoba meraba-raba dinding yang ada di sampingnya.
Erin terus menelusuri dinding, tiba-tiba ia menjerit ketakutan ketika ia merasakan ada sesuatu yang memegang kakinya.
"Tuhan, tolooong!" Erin langsung terduduk lemas sambil menangis.
Karin menyalakan lampu sambil tertawa. Ia tidak bisa menahan tawanya lagi, ia puas ketika melihat sepupunya yang super penakut itu menangis.
"Cup cup cup, kacian adik cepupu aku." Karin menepuk kepala Erin. "Jangan menangis, nanti aku beliin pizza lagi."
Erin menepis tangan Karin. "Janji?"
"Iya, janji."
Erin mengusap air matanya, kemudian bangkit berdiri, lalu mengambil tas selempang miliknya yang ada di atas kasur.
"Udah selesai dandannya?" Karin memastikan.
Erin tidak menjawab ia hanya melangkah mendahului Karin. Karin menyusulnya dari belakang.
Ternyata taksi yang mereka pesan sudah sampai.
Selama di perjalanan wajah Erin terus cemberut, dan itu membuat Karin merasa bersalah.
"Erin, maaf. Sumpah mukamu jelek kalau cemberut begitu."
"Biarin."
"Aku kan udah janji tadi mau beliin pizza."
Erin memalingkan wajahnya, sebenarnya ia masih kesal dengan keusilan Karin yang tadi.
Karin berdecak kesal. "Aku tambahin deh, burger sama ayam goreng."
"Janji?"
"Janjiii!"
"Ayo, salaman dulu biar deal!" Erin mengulurkan tangannya, dan uluran tangan itu disambut oleh Karin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise
RandomPada dasarnya kita takut kehilangan. Takut ketika orang yang kita sayangi pergi meninggalkan kita, apalagi di saat hidup kita sedang tidak baik-baik saja. Itu yang dirasakan oleh Karin. Ia takut kehilangan orang yang begitu berharga di hidupnya. Ia...