HIMEB 10 : Keterpurukan

55 6 0
                                    

Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan setiap detik tanpa Matthew terasa seperti beban yang semakin berat di hati Arsenio. Ia merasa terjebak dalam rutinitas yang monoton, mencoba menyesuaikan diri dengan peran barunya sebagai seorang ayah. Meskipun Kiran dan bayinya memberikan alasan untuk tersenyum, rasa kehilangan yang mendalam terus menghantuinya.

Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, Arsenio duduk di balkon rumah sambil menimang bayinya. Kiran berlari-lari di halaman, tertawa ceria dengan teman-temannya. Namun, tawa itu terasa jauh, seolah berasal dari dunia lain, sementara Arsenio terjebak dalam pikirannya sendiri. Dia memandang ke arah langit yang berwarna jingga, berharap melihat sosok Matthew muncul.

“Saya tahu kamu di luar sana,” bisiknya, hatinya bergetar. “Kenapa kau pergi saat aku membutuhkanku?”

Kekecewaan dan kemarahan mengalir dalam dirinya seperti aliran sungai yang tak terputus. Setiap pesan yang dia terima dari Matthew semakin menyakitkan. Kata-kata cinta terasa hampa ketika kenyataan berbicara berbeda. Arsenio ingin mengerti, tetapi perasaannya seolah terperangkap dalam labirin gelap.

Malam itu, Arsenio menerima telepon dari dokter Sinta. “Arsenio, saya minta maaf sudah mengganggu,” kata dokter. “Saya ingin membicarakan tentang kesehatan bayi Anda.”

Dengan jantung berdebar, Arsenio pergi ke klinik. Di dalam ruang periksa, suasana terasa tegang. Dokter Sinta memasang wajah serius saat ia menjelaskan kondisi bayi Arsenio. “Ada beberapa masalah yang perlu kita tangani segera. Kami akan melakukan beberapa tes untuk memastikan semuanya baik-baik saja.”

Arsenio merasakan dunia seolah runtuh di sekitarnya. “Apa maksud Anda, Dokter? Apa yang salah?” tanyanya, suaranya bergetar.

“Saya tidak ingin membuat Anda panik, tetapi kita harus memantau kesehatan bayi dengan lebih dekat,” jawab dokter Sinta.

Kekhawatiran semakin meresap ke dalam hatinya. Bayang-bayang Matthew seolah menyelimuti pikirannya. “Di mana kamu, Matthew? Kenapa aku harus melalui ini sendirian?” Air mata mulai mengalir, dan Arsenio berusaha menahan isak tangis.

Setelah keluar dari klinik, Arsenio berusaha mengalihkan pikirannya dengan mengurus Kiran. Namun, saat melihat anaknya bermain, dia tidak bisa tidak merasa terjebak dalam kesedihan. Dalam hati, dia berjanji untuk berjuang demi anak-anaknya, meskipun ketidakpastian tentang Matthew membuatnya merasa semakin rapuh.

Hari-hari berlalu, dan Arsenio terus merawat bayinya sambil berjuang dengan pikiran-pikiran yang mengganggu. Suatu malam, saat dia menyusui bayi, Rina datang ia mendekatinya dan duduk di sebelahnya. “Sen, kenapa wajahmu sedih?” tanyanya khawatir.

“Tidak ada, Kak. Aku hanya lelah,” jawab Arsenio sambil tersenyum, berusaha menutupi perasaannya.

Rina mengangguk, tetapi tatapannya menunjukkan bahwa dia merasakan sesuatu yang lebih dalam. “Aku ingin adikku bahagia. Di mana Matthew? Kenapa dia tidak pulang?” tanya Rina, penuh khawatiran.

Air mata mengalir di pipi Arsenio. “Matthew... dia sedang menyelesaikan beberapa hal. Dia akan kembali segera,” jawabnya, meskipun dalam hatinya dia ragu.

“Apakah dia mencintai kalian?” tanya Rina lagi.

Arsenio terdiam. Dia ingin menjawab dengan kepastian, tetapi keraguan menyelimuti hatinya. “Tentu saja, dia mencintai kami,” jawabnya dengan suara pelan, meskipun kebenaran dalam hatinya berbeda.

Beberapa hari setelah itu, Arsenio memutuskan untuk memberi nama adiknya Kiran, Sky. Dia merasa memberi nama ini adalah cara untuk merayakan kehadiran bayi tersebut, meskipun tanpa Matthew di sampingnya.

Sore itu, saat Kiran tertidur di pangkuannya, Arsenio merenung. Dia merasa terasing, seperti berlayar di lautan tanpa arah. Ketika dia memikirkan masa depan, rasa cemas menghinggapi. Bayi di pelukannya adalah harapan, tetapi apa yang bisa dia lakukan jika Matthew tidak kembali?

Waktu terasa berjalan lambat. Arsenio sering menunggu pesan dari Matthew, tetapi setiap kali ponselnya bergetar, hatinya berdebar dengan harapan, hanya untuk kecewa ketika ternyata itu bukan pesan dari orang yang dia cintai.

Suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, Arsenio melihat bayang-bayang luar jendela. Ia teringat momen indah yang pernah dia habiskan bersama Matthew, saat mereka berbagi tawa dan impian. Sekarang, semua itu terasa seperti ilusi yang menjauh.

Dia mengangkat ponselnya dan mengirim pesan kepada Matthew: Kau di mana? Aku butuh kamu. Kiran juga. Setelah menekan kirim, Arsenio menunggu, berharap Matthew akan menjawab dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tetapi saat malam beranjak larut, pesan itu tetap tanpa balasan. Dengan hati yang berat, Arsenio terpaksa menyerah pada kenyataan bahwa mungkin dia harus menghadapi semuanya sendirian. Dalam kegelapan malam, dia merasa kehilangan lebih dari sekadar cinta—dia merasa kehilangan dirinya sendiri.

---

.
.
.

To be continued.... ♡

Bagaimana pendapatmu tentang bab ini? Apakah semakin seru? Jangan ragu untuk berbagi pemikiranmu di kolom komentar dan beri bintang! ⭐️💬

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

[𝐁𝐋] He's My Ex-boyfriend Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang