Berbulan-bulan berlalu, dan Arsenio semakin mendekati waktu kelahiran. Dia merasakan campur aduk antara kebahagiaan dan kecemasan yang selalu menyertai langkahnya. Meskipun dia berusaha untuk tetap positif, bayang-bayang ketidakpastian menyelimuti pikirannya, terlebih saat dia mengingat pertemuan terakhir dengan dokter Sinta yang penuh kecemasan.
Suatu sore, saat Arsenio berbaring di sofa, Kiran datang dan duduk di sampingnya. “Bubu, kapan aku bisa punya adik?” tanya Kiran, matanya berbinar penuh harapan.
“Sebentar lagi, sayang. Bubu akan membawakanmu seorang adik,” jawab Arsenio, berusaha tersenyum meskipun hatinya bergetar. Ia berharap semua akan baik-baik saja, dan dia bisa memberikan Kiran seorang saudara.
Malam itu, saat Arsenio mencoba tidur, rasa sakit mulai terasa. Dia terbangun, terengah-engah, dan merasakan kontraksi yang semakin intens. “Oh tidak, ini dia,” pikirnya, panik. Dalam kebingungan, ia segera menghubungi Matthew, tetapi teleponnya tidak bisa dihubungi.
“Matthew!” teriaknya, jantungnya berdebar cepat. Dengan susah payah, dia berusaha menghubungi dokter dan mempersiapkan diri menuju klinik.
Sesampainya di klinik, suasana di sana terasa tegang. Arsenio merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia melihat wajah-wajah cemas para perawat dan dokter yang sedang bersiap-siap. Kiran terlihat bingung, tidak mengerti sepenuhnya situasi yang terjadi. Dia hanya bisa memegang tangan ayahnya yang bergetar.
“Tenang, Arsenio. Kami di sini untuk membantu,” kata dokter Sinta, mencoba menenangkan Arsenio yang terlihat semakin cemas.
“Di mana Matthew? Dia seharusnya ada di sini bersamaku!” suara Arsenio bergetar, menahan air mata.
“Dia dalam perjalanan, Arsenio. Fokuslah pada pernapasanmu. Kita akan segera memulai,” dokter Sinta menjelaskan sambil mengatur peralatan di sekitar mereka.
Kontraksi semakin kuat, dan Arsenio berusaha berfokus. “Kau bisa melakukannya,” bisik dokter Sinta, memberikan semangat. Namun, di dalam hati Arsenio, rasa cemas tidak kunjung reda. Dia merasa terabaikan tanpa kehadiran Matthew di sampingnya.
Saat proses kelahiran dimulai, Arsenio merasa seolah-olah dunia berputar di sekelilingnya. Dengan setiap rasa sakit yang datang, bayangan Matthew semakin menghilang. Dia berusaha untuk tidak membiarkan pikirannya melayang jauh, tetapi kehadiran Matthew sangat diharapkannya.
“Arsenio, kita sudah hampir sampai. Ambil napas dalam-dalam,” suara dokter Sinta membawanya kembali ke realitas.
Akhirnya, setelah berjuang dalam waktu yang terasa abadi, Arsenio merasakan sensasi yang tak terlukiskan saat bayinya lahir. Saat dokter mengangkat bayi itu dan menampilkannya kepada Arsenio, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Namun, di sisi lain, ketidakhadiran Matthew terasa semakin menyakitkan.
“Di mana dia?” gumam Arsenio, saat rasa bahagia itu bertemu dengan rasa hampa. Kiran yang melihat bayi itu tertawa kecil, tidak menyadari ketegangan di antara mereka.
Setelah beberapa saat, dokter memberikan bayinya kepada Arsenio. “Selamat, Arsenio. Ini adalah momen yang luar biasa,” kata dokter Sinta, tetapi Arsenio hanya bisa tersenyum sambil menahan kesedihan.
Dia berharap Matthew segera tiba untuk berbagi momen indah ini. Namun, saat waktu berlalu, tidak ada tanda-tanda kehadiran Matthew. Arsenio merasa terasing, kebahagiaannya mulai sirna karena ketidakhadiran orang yang seharusnya ada di sampingnya.
“Matthew, di mana kau?” pikirnya, saat dia memandang bayi yang baru lahir. Dia tahu dia harus kuat untuk anak-anaknya, tetapi hatinya berjuang untuk memadamkan rasa sakit dan kekecewaan yang menggerogoti.
---
.
.
.To be continued.... ♡
Bagaimana pendapatmu tentang bab ini? Apakah semakin seru? Jangan ragu untuk berbagi pemikiranmu di kolom komentar dan beri bintang! ⭐️💬
KAMU SEDANG MEMBACA
[𝐁𝐋] He's My Ex-boyfriend
Ficção AdolescenteArsenio Honiara, seorang pria yang berjuang untuk menemukan makna hidup setelah ditinggalkan oleh kekasihnya, Matthew Aston, saat dia hamil. Dalam dunia yang tidak menerima keadaan uniknya sebagai seorang laki-laki yang mengandung, Arsenio harus ber...