Kafe itu dipenuhi suara riuh percakapan dan aroma kopi yang menggugah selera. Namun, bagi Arsenio, suara itu seperti jauh di belakang pikirannya. Ia masih berjuang untuk mencerna kata-kata Matthew. Saat ini, semua kenangan lama kembali menghantuinya—masa-masa indah ketika mereka masih bersama, dan kemudian saat Matthew pergi begitu saja.
“Arsenio?” Suara Matthew menariknya kembali ke kenyataan. “Apa kau baik-baik saja?”
Arsenio mengangguk cepat, tetapi tidak bisa menyembunyikan keraguan di wajahnya. “Ya, aku baik. Hanya saja… sulit untuk berbicara tentang ini.”
Matthew menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku mengerti. Tidak ada yang mudah setelah apa yang terjadi. Tetapi aku di sini, dan aku ingin mendengarnya.”
Setelah menghela napas dalam-dalam, Arsenio mulai menceritakan kisahnya—bagaimana hidupnya berubah drastis setelah Matthew pergi, bagaimana dia berjuang dengan stigma masyarakat, dan bagaimana rasa sakitnya melahirkan Kiran sendirian. Setiap kata yang diucapkannya membawa kembali rasa sakit yang dalam, tetapi juga memberinya kesempatan untuk melepaskan beban yang selama ini ia tanggung.
“Rasanya seperti dunia ini menghakimi aku,” Arsenio melanjutkan, suaranya bergetar. “Tidak ada yang bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang laki-laki hamil. Semua orang memandangku aneh, dan setiap hari adalah perjuangan untuk membuktikan bahwa aku layak mencintai dan dicintai.”
Matthew mendengarkan dengan seksama, wajahnya dipenuhi penyesalan. “Aku sangat menyesal telah meninggalkanmu, Arsenio. Aku tidak tahu bagaimana perasaanku saat itu bisa membuatku berpikir bahwa pergi adalah pilihan yang tepat.”
“Dan aku tidak mengerti kenapa kau pergi,” Arsenio menjawab, nada suaranya semakin tegas. “Kau mengatakan itu hanya lelucon, tetapi kepergianmu meruntuhkan hidupku.”
Matthew mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tahu, dan aku tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi. Tetapi aku ingin memperbaikinya. Aku ingin berkontribusi dalam hidupmu dan Kiran. Kau tidak sendirian lagi.”
Arsenio merasakan hati dan pikirannya saling beradu. Dia ingin percaya, tetapi rasa sakit yang telah ia alami terlalu dalam. “Tapi bagaimana jika kau pergi lagi?” tanya Arsenio. “Aku tidak bisa membiarkan diriku merasakan sakit itu sekali lagi.”
“Aku tidak akan pergi, Arsenio. Aku berjanji,” jawab Matthew, nada suaranya penuh keyakinan. “Aku tahu aku tidak pantas untuk permohonan ini, tetapi izinkan aku menunjukkan bahwa aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Aku ingin bertemu Kiran.”
Mendengar nama anaknya disebut, Arsenio merasakan jantungnya berdegup kencang. “Kiran belum siap untuk bertemu denganmu. Dia belum tahu siapa kamu sebenarnya,” katanya pelan.
“Kapanpun kau siap,” Matthew menjawab dengan lembut. “Aku akan menunggu. Yang terpenting bagiku adalah membangun kembali kepercayaan kita.”
Ketika mereka berbincang, waktu terasa berlalu dengan cepat. Arsenio merasa ada harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Namun, perasaan itu segera diselingi oleh kekhawatiran. Apakah dia benar-benar siap untuk memberi Matthew kesempatan kedua?
Setelah beberapa saat, mereka selesai berbincang. Arsenio merasa seolah ada beban yang terangkat dari pundaknya, tetapi keraguan tetap membayang. Matthew mengajaknya keluar dari kafe, dan ketika mereka melangkah keluar, Arsenio merasakan angin sore yang sejuk.
“Apakah kita bisa pergi ke taman?” Matthew bertanya, menunjuk ke arah taman kecil tidak jauh dari situ. “Aku ingin berbincang lebih banyak.”
Dengan sedikit ragu, Arsenio mengangguk. Mereka berjalan berdua menuju taman, sementara perasaannya campur aduk. Dia ingin menjalin kembali hubungan dengan Matthew, tetapi rasa sakit masa lalu terus mengingatkannya akan risiko yang dihadapi.
Di taman, mereka duduk di bangku kayu yang menghadap ke kolam kecil. Suara burung berkicau dan anak-anak bermain di sekitarnya menciptakan suasana damai, tetapi Arsenio merasakan ketegangan di dalam hatinya.
“Arsenio, aku ingin tahu tentang Kiran. Apa yang dia sukai? Apa yang membuatnya bahagia?” tanya Matthew dengan tulus.
Arsenio tersenyum kecil saat mengenang Kiran. “Dia suka bermain robot dan menggambar. Dia memiliki imajinasi yang sangat besar.”
Matthew terlihat terpesona. “Aku ingin mengenalnya. Dia pasti sangat lucu.”
“Mungkin suatu saat nanti,” jawab Arsenio, masih meragu. “Dia masih terlalu kecil untuk memahami siapa kamu.”
“Ketika saatnya tiba, aku ingin bertemu dan menghabiskan waktu bersamanya. Aku tidak ingin hanya ada di pinggir kehidupan kalian,” ujar Matthew, suaranya penuh harapan.
Arsenio menatap Matthew, melihat ketulusan di matanya. Dia ingin percaya bahwa pria ini telah berubah, tetapi rasa sakit dari masa lalu masih membekas. “Baiklah, kita akan lihat,” ujarnya, mencoba menjaga hati dan harapannya.
Malam semakin gelap, dan Arsenio merasa keputusan untuk memberikan kesempatan kedua kepada Matthew semakin sulit. Apakah ini langkah yang tepat? Atau akankah dia terjatuh lagi dalam lubang yang sama?
Namun, saat ia memandang Matthew, ia merasakan sedikit harapan. Mungkin, hanya mungkin, ada kesempatan untuk memulai yang baru.
---
.
.
.
To be continued.... ♡
Annyeong...
Maaf ya selama bulan puasa ini aku update cuma berberapa kali, setelah lebaran jadwal update kembali seperti semula.
Updatenya setiap hari ganjil yaa;
- Senin
- Rabu
- Jum'at
- Minggu
Jadi pantengin aja hari-hari itu, kalo ga update berarti hari berikutnya.
Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menunaikan, semangat yaa!!
Yaudah yaa sampai ketemu di setelah lebaran 🤩🤩.
Terimakasih 🤍🕊️.
- 19 Feb' 2024.
-1449 words.
KAMU SEDANG MEMBACA
[𝐁𝐋] He's My Ex-boyfriend
Teen FictionArsenio Honiara, seorang pria yang berjuang untuk menemukan makna hidup setelah ditinggalkan oleh kekasihnya, Matthew Aston, saat dia hamil. Dalam dunia yang tidak menerima keadaan uniknya sebagai seorang laki-laki yang mengandung, Arsenio harus ber...