8. The Flame 🔥

3.8K 471 69
                                    

Selanat 15k. Btw, aku izin nggak up (atau telat up besok ya)

P.S. kapan lagi ini 🔥 balik hahaha habisnya mau ditaruh di KK tapi kentang.

***

"Kemarin malam, lo mandi, ya?"

Nolan mengerang sambil menepis memori terkait ucapan yang tadi diucapkan Edelyn. Ia menggeleng pelan. Berusaha menyingkirkan kalimat tuduhan dari perempuan itu. Tuduhan yang sayangnya benar.

Tidur bersebelahan dengan Edelyn semalam membuat Nolan nyaris gila. Dengan memohon ampun pada perempuan itu di dalam hati, ia melipir ke kamar mandi. Menuntaskan apapun yang butuh dituntaskannya.

Nolan merasa hidupnya bagai pecundang menjijikan. Bagaimana mungkin ia merangsang dirinya sendiri di dalam kamar mandi sambil membayangkan perempuan yang kini tidur di atas tempat tidurnya begitu rupa padahal jelas perempuan itu tidak mungkin digapainya?

"Sex with you."

Kalimat itu terbayang lagi. Nolan ingat pias ketika Edelyn mengucapkan kalimat itu dengan begitu gamblangnya. Ketika wajah sayu Edelyn akibat ciuman yang seharusnya tidak mereka lakukan itu seolah meminta lebih.

She wanted more.

He wanted more.

They both wanted more.

Sayangnya, ingin hanya akan jadi angan.

Nolan tahu, ia seharusnya jujur. Jujur pada perasaannya, jujur pada diri sendiri, jujur pada Edelyn, tentang semuanya. Semuanya! Sayangnya, semua itu tidak mudah. Hubungan mereka tidak akan bisa berakhir bahagia. Sepertinya, sulit.

Nolan menggelengkan kepala. Ia mengemasi barang-barangnya di meja. Hari ini adalah hari terakhirnya. Tak seperti di Indonesia—atau begitu yang ia lihat di media sosial teman-temannya—tidak ada farewell session dengan dua kotak donat atau tahu kriuk. Semua karyawan di sini masih bekerja seperti biasa. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang terganggu. Walau memang, ada ajakan ke bar malam nanti.

"You bring your partner with you?" Suara berat membuat Nolan mendongak. Ia menemukan Warren, teman sekampusnya yang juga berasal dari Indonesia. Lelaki itu jadi orang yang paling sedih ketika Nolan pulang. Pasalnya, tidak banyak orang Indonesia di kantor itu dan cuma Nolan satu-satunya yang bisa diajak mengumpati orang India yang berlagak sok tahu di sana.

"Bring her to?"

"The bar." Warren kini duduk di hadapannya.

Nolan memutar bola mata. "Nggak punya partner."

"Terus Edelyn, apa?"

Nolan menghela napas sebal. Warren sudah pernah bertemu Edelyn sebelumnya. Belum ditambah catatan bahwa teman sekantornya yang paling dekat itu pernah pacaran sebentar—atau jadi teman tidur bareng—dengan adiknya, Emillia. Membayangkannya membuat Nolan sakit kepala.

Nolan hanya bisa mengangkat bahu. "I don't think she wants to join us."

"Well, I don't think she don't want to join us." Warren mengayun kalimatnya, mengetahui bahwa Nolan hanya berkilah.

Lidah Nolan berdecak. Ia menggeleng sebal sambil mengambil kotak kardus yang ada di atas mejanya. Teman-temannya masih harus bekerja sampai jam delapan nanti karena ada deployment tambahan. Sementara, Nolan sudah bisa pulang. Rencana awalnya, ia ingin menjemput Edelyn lalu makan malam dan pergi menemui teman-temannya sebagai acara perpisahan.

Bukannya tidak ingin mengajak Edelyn, tetapi... ya memang tidak ingin mengajak, sih. Edelyn masih begitu murni. Ia memang tinggal di sini bertahun-tahun, tetapi, bertahun-tahun itu juga, Nolan menundunginya dari dunia yang jahat dan gelap. Ia ingin Edelyn tetap begitu—di dunianya yang penuh cahaya, yang seolah lurus dan baik-baik saja.

Just BecauseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang