23. Secret

1.9K 416 78
                                    

[55k mark]

"Di sini, yuk..." Suara Nolan akhirnya menggema, membuyarkan lamunan Anggia yang sedari tadi memandang ke arah jalanan di daerah Tanah Abang dan berbelok ke arah Wahid Hasyum itu. Mobil Nolan sudah terparkir di parkiran sebuah restoran yang berada di pinggir jalan yang mengarah ke Jalan M H Thamrin dan menuju perempatan Sarinah dan Djakarta Theatre.

Turun dari mobil, Anggia disambut restoran bernuansa merah muda yang terlihat menggemaskan. Untuk ukuran Sabtu pagi, restoran itu cenderung ramai. Sepertinya, kebanyakan dari tamu itu memesan menu brunch.

Anggia menghela napas keras. Brunch, ya? Semasa SMA dan kuliah dulu, Anggia adalah tipe yang tidak pernah absen dengan acara brunch semacam itu setiap Sabtu dan Minggu dengan teman-temannya. Apalagi, kalau pulang ke Jakarta. Agendanya pasti penuh! Sekarang? Boro-boro! Mana bisa Anggia merogoh kocek ratusan ribu untuk sekali makan pagi seperti itu lagi?

Kini, isi kepala Anggia tengah menghitung uang di kepalanya. Sepertinya setelah makan bersama Nolan kali ini, ia harus berhemat karena uang satu minggunya mungkin habis dan ludes tak bersisa.

Disambut pegawai di depan pintu, Anggia dan Nolan diarahkan pada sebuah meja dengan kursi sofa warna merah muda. Ia menatap ke sekitarnya lalu menatap dirinya sendiri yang kucel dan lebih cocok makan di warung ketimbang di restoran yang—sebenarnya bukan mewah-mewah amat tetapi—cukup bergengsi.

"Mau pesen apa, Gi?" tanya Nolan sambil menyodorkan menu yang cuma selembar bolak-balik.

Anggia membaca menu sambil menelan ludah. She could not afford it. Ia mengambil napas panjang-panjang. "Teh hangat aja, Mbak." Perempuan itu berkata cepat. Teh saja harganya sudah 70 ribu!

Nolan menautkan alis. "Nggak makan?" tanyanya kebingungan.

Kepala Anggia menggeleng. "Tadi kan udah roti, Lan."

Raut Nolan masih terlihat tidak puas akan jawaban Anggia. Lelaki itu menatap ke arah menu yang ada di atas meja. "Ini Satu Burger Platter, satu Croque Monsieur, dan satu vietnam drip coffee."

Mata Anggia membelalak. "Lan..."

Nolan mengangkat alis sambil memberikan menu kepada pegawai di sana. "What?" tantang Nolan. "Gue yang pesen, kok."

Anggia hanya merenggut. Nolan memang tidak pernah dilawan. Ada saja alasannya dan argumennya. Perempuan itu memangku dagu, menatap Nolan lagi hingga satu pertanyaan terbersit di kepalanya. Hanya sejenak sebelum kemudian ia meragu.

Pantaskah?

Perlukah?

Anggia menggerakan tubuhnya. Ia tidak tahu.

"Kenapa, Gi? Gelisah gitu..." tegur Nolan yang membuat Anggia kicep saat itu juga.

Matanya kemudian melirik ke arah Nolan. Mengulum senyumnya sebelum membuka mulut. "Lo kok di rumah sakit? Ada yang sakit?" Anggia akhirnya berucap. Sejak awal, ia penasaran, bagaimana mungkin ia tiba-tiba bertemu Nolan begitu.

Nolan terlihat mengangkat bahu dengan santai. "Oh, biasa." Ia berkata cepat. "Checkup."

"Checkup?"

Nolan mengangguk pasti. "Iya."

"Checkup apa? Medical checkup?" Anggia mengerutkan dahi. "Lo ngapain medical checkup? Umur masih tiga puluh nggak, sih? Mau ngecek kadar kolesterol? Gula? Atau..." Anggia melihat Nolan yang berwajah aneh. Satu kali lihat, Anggia tahu, Nolan bukan melakukan medical checkup. "Atau..." Anggia mengulang kata terakhirnya lalu menjeda ucapanya.

Just BecauseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang