24. The Real Reason

2K 423 52
                                    

"Lan... ngaku sama gue, sebenarnya, apa ini alasan lo pulang ke Indonesia?"

Nolan mengulum bibir ketika mendengar pertanyaan itu dikemukakan begitu saja oleh Anggia yang duduk di hadapannya. Lelaki itu menghela napas. Ia masih menatap makanannya yang berada di atas meja. Ada ragu menyergap. Ia tidak tahu harus memulai dari mana.

"Please tell me that you are okay. Please! Jangan bilang kondisi lo memburuk, Lan..." Suara Anggia menggema lagi.

Nolan mengambil napas dengan berat.

Kondisinya memburuk.

Katup yang pernah dioperasi tiba-tiba bermasalah. Alasannya tidak diketahui. Padahal seharusnya, katup yang sudah dioperasi sangat kecil kemungkinannya untuk kambuh. Nolan juga sudah rajin meminum obat dan periksa rutin. Tetapi, keadaannya makin parah.

Sekitar dua atau tiga tahun lalu, Nolan kembali merasakan nyeri di dada. Awalnya empat bulan sekali, lalu tiga bulan, lalu sebulan sekali. Rasanya seperti jantung berhenti berdetak, napasnya sesak, dan ia merasa akan mati besok.

Melihat semua itu membuat Nolan sadar.

Hidupnya singkat.

Ia bisa mati besok.

Ia bisa mati kapan saja.

Jadi, Nolan putuskan untuk pulang. Ia ingin menghabiskan waktunya dengan keluarganya. Ia juga tidak ingin membebani Edelyn. Ia tahu Edelyn punya masa depan yang baik. Dia punya mimpi yang banyak. Punya pacar laki-laki yang besok bisa mati mendadak sepertinya bukan sebuah hal bagus. Edelyn harus melupakannya dan itu yang Nolan lakukan: kabur.

Pengecut!

Nolan memang pengecut, kan?

Ada opsi untuk operasi. Tetapi, operasi memiliki banyak resiko. Jadi, Nolan butuh banyak pertimbangan. Apakah akan melakukan operasinya atau tidak. Dan ia mungkin akan berbicara dengan Darma dan Salsa secepatnya. 

Tetapi, tidak sekarang. Ia harus memastikan dua orangtuanya tenang  dulu. Darma, terutama. Ayahnya itu masih pontang-panting karena Emillia dan kelakuannya. Juga masih terlalu up high karena kepulangan Nolan.

Nanti dulu. Sebentar lagi.

Matanya menatap ke arah Anggia yang masih menunggu jawabannya. Ia berencana membuka mulut hingga suara ponsel terdengar. Lelaki itu buru-buru merogoh kantongnya. Matanya menyipit ketika melihat nomor asing terpampang di layar.

Siapa?

Tidak banyak yang tahu nomor Indonesia Nolan. Cuma keluarganya dan beberapa kerabat kerja yang belum terlalu banyak. Lalu, ini siapa? Jelas bukan telemarketing kartu kredit.

"Sebentar... " Nolan mengangkat panggilan itu. "Halo."

Baru menekan tombol hijau, suara riang terdengar dari seberang. "BATMAN!"

Mata Nolan membelalak. Ia menatap Anggia yang masih makan. "Del?" Sayup-sayup, terdengar suara ramai dari telepon itu berikut juga panggilan yang begitu khas. Bandara.

"Gue udah di airport, jemput dong!"

Nolan semakin membelalak. "LO DI INDONESIA? HAH?" Ia melirik ke arah Anggia yang terlihat kebingungan. Semua orang pasti kebingungan!

"Iya! Gue di Indonesia!" Suara Edelyn terdengar lagi.

Nolan mengerutkan dahi. "Lo di mana?"

"Di airport! Mau ngantri taksi tapi rame banget!"

Demi apapun, Nolan hanya bisa mengurut dada. Kejutan ini benar-benar membuat terkejut. Ia melirik ke arah jam tangannya. "Gue lagi di daerah Tanah Abang, kira-kira... 45 menit." Ia melirik Anggia kemudian. "Lo mau nunggu gue apa mau ngantri taksi?"

Just BecauseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang