"Jo—"
"Saya tahu," potong Jo, "saya nggak minjem mata dan kepala orang lain untuk tahu semua itu."
Ansel menyipitkan mata. Jantungnya berdebar kencang menunggu apa yang akan dijelaskan Jo selanjutnya. Asisten kakaknya itu ternyata penuh kejutan.
"Tidak sengaja, saya mendengar Pak Aiden dan Pak Bastian mengobrol. Mereka menceritakan tentang kamu dan Bu Jenny." Jo menggigit bibir bawahnya, lalu menarik napas dalam-dalam hingga membuat cekungan di bawah lehernya. Perasaan marah karena alasan yang ambigu sukses menahan napas Jo. Sesaat kemudian, semua itu dilepaskan Jo dengan embusan napas dari mulutnya.
Ansel masih diam dan menunggu lebih banyak penjelasan Jo. Namun, ada satu yang tak bisa luput dari pandangannya saat ia memperhatikan mimik dan gestur Jo. DAMN! Bibir merah muda Jo yang tampak lembap dan basah mulai menggoyahkan konsentrasinya. Ansel berusaha mengerjap dan memalingkan wajah, tapi pemandangan seksi di hadapannya terlalu sulit untuk dihindari. Hanya ketika Jo melontarkan pertanyaan yang menyinggung harga dirinya, Ansel baru bisa mengembalikan fokusnya.
"Kamu bicara seolah-olah saya sangat rendah, Ansel." Sinisme terdengar kental dalam nada ucapan Jo, begitupun dengan pancaran matanya yang menembus ke kesadaran Ansel. "Lalu, bagaimana dengan kamu sendiri yang berpelukan dengan istri kakakmu di depan kantor hukum dan jalan berduaan di saat semua orang baru memulai kesibukan? Kamu tidak lebih rendah dari saya," imbuh Jo.
Ansel tersenyum masam. Bujukan hasrat yang sempat melintas seketika tergantikan oleh sakit hati. Bisa-bisanya Jo menuduh, padahal dia sendirilah terdakwanya, pikir Ansel.
"Kita lagi nggak ngomongin siapa yang lebih rendah, Jo." Ansel berusaha menanggapi dengan tenang, meskipun kecamuk rasa kesal terus memprovokasinya untuk bicara lebih banyak.
"Omongan kamu dari tadi, sejak kita meninggalkan rumah mami kamu sampai ke sini, itu semuanya apa?!" sergah Jo, "Jangan bilang kamu cuma nanya! Nanya itu nggak kayak gitu. Itu namanya mencecar." Jo menarik napas guna mengumpulkan kekuatan untuk menyerang Ansel lagi. "Oke saya memang cewek nggak bener karena saya nekat menjual keperawanan saya, tapi saya nggak pernah ada niat untuk jadi seperti itu. Kamu tahu sendiri alasannya, 'kan?"
"Saya hanya mengingatkan kamu kalau Mas Ai sudah punya istri." Sekali lagi Ansel masih menjawab dengan intonasi yang datar dan sikap yang tenang.
"Iya, tapi mereka akan bercerai dan kamu langsung menyambar istrinya," singgung Jo, kemudian melipat kedua tangannya di atas perut seraya memalingkan wajah ke samping. Namun, tiba-tiba saja Jo sadar kalau ucapannya tadi terdengar seperti seorang pacar yang sedang tantrum karena cemburu.
Tolol! Jo memaki dirinya sendiri dalam hati.
"You know nothing, Jo." Kali ini ada penekanan di dalam respons yang dilontarkan Ansel. Pria itu menatap tajam Jo yang sudah kembali mensejajarkan pandangan dengan pandangannya.
"Kamu juga nggak tau apa-apa tentang saya dan Pak Ai. So, stop judging me!"
"I'm not judging you!" tegas Ansel dengan nada tinggi. Emosi yang terlanjur terluapkan membuat dadanya naik turun dengan cepat. Tatapnya yang dipenuhi amarah sekaligus cemas memindai wajah Jo dengan sedikit intimidasi. "I just want to stop you," lanjutnya masih dengan ekspresi yang sama.
"Stop me from what?" Jo tentu saja kebingungan dengan pernyataan Ansel. Ia merasa Ansel terus mendesaknya akan hal yang tidak pernah ia lakukan. "Kamu mau menghentikan saya dari apa?" ulangnya dalam bahasa Indonesia.
"Dari yang kamu dan Mas Ai lakukan."
Well, dari jawaban Ansel, Jo bisa menyimpulkan bahwa sedari tadi dan bahkan sebelumnya Ansel benar-benar menuduhnya "ada main" dengan Aiden. Sinting!
KAMU SEDANG MEMBACA
Enmeshed
RomanceJudul awal: Terperangkap Dusta (21+) Jovanka Aurelia terdesak oleh utang keluarga hingga rela mengambil keputusan berisiko, melelang harga dirinya. Seorang pria asing membelinya, tapi Jo berhasil memanipulasi situasi. Jo mengambil uang pria itu tanp...