23. Akhiran yang Belum Berakhir

93 23 1
                                    

Ebook dan PDF (Via G-Drive) sudah ready. Info Ebook bisa mengunjungi instagram penulis.

======

Perasaan Ansel jadi bercampur aduk. Ia ingin marah, tapi harus menahannya demi etika. James tidak tahu apa-apa mengenai hubungannya dengan Jo. Ia tidak perlu meledakkan kemarahannya di hadapan pria itu. "Oh, begitu ya. Menarik juga gosipnya," lanjutnya dengan nada datar.

"Iya, Mas. Saya malah kasihan ke si Jo. Dia bisa dicap sebagai pelakor tuh," ucap James sambil setengah meringis.

Setelah beberapa saat mendengarkan cerita James, Ansel memutuskan untuk mengakhiri pertemuan itu. Ia berpamitan dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan di apartemennya, padahal hatinya sudah penuh dengan rencana untuk mengambil perhitungan dengan Jo. Ansel bangkit dari tempat duduknya dengan wajah yang terlihat tenang, tapi di dalam hatinya berkobar-kobar api kemarahan yang siap meledak kapan saja.

Ansel berdiri di depan pintu rumah Jo dengan ekspresi dingin. Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah-olah menyatu dengan suasana hati Ansel. Ketika pintu akhirnya terbuka, Jo muncul dengan wajah tenang, tapi penuh kewaspadaan. Tanpa sepatah kata pun, Jo hanya membiarkan pintu sedikit terbuka, cukup untuk menunjukkan bahwa ia tidak berniat membiarkan Ansel masuk.

"Ada apa kamu ke sini?" tanya Jo, suaranya datar tapi matanya penuh waspada. Ansel menatapnya tajam, tak ada basa-basi.

"Saya dengar dari James tentang gosipmu dan Mas Aiden. Benarkah?"

Jo mengangkat alis, seolah tak peduli. "Memang apa hubungan gosip saya dengan kamu?"

Ansel mendekat selangkah. Nada tanya yang dilontarkannya terdengar semakin dingin. "Kamu serius?"

Sebelum Jo bisa menjawab, tiba-tiba suara berat yang sarat akan keceriaan menginterupsi ketegangan di antara mereka. "Ansel, selamat datang!"

Oscar membuka pintu lebih lebar, lalu melontarkan senyuman pada tamu tak diundangnya. Ekspresi pria itu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya saat melihat Ansel. Tanpa memberi kesempatan Jo untuk menolak, Oscar langsung menarik tangan Ansel, mengajaknya masuk.

"Kamu masuk saja, jangan cuma berdiri di depan pintu. Ayo, ayo! Duduk dulu, kita ngobrol di dalam," kata Oscar sambil tertawa kecil, seolah dia sedang menjamu tamu kehormatan.

Jo hanya bisa berdiri terpaku, merasa kalah telak dalam pertempuran singkat ini. Dengan setengah hati, dia mengikut Ansel dan ayahnya ke ruang tamu. Ansel, yang seharusnya masih marah, tiba-tiba merasakan perubahan suasana yang aneh dan menahan diri untuk tidak tersenyum.

Oscar langsung duduk di sofa, mempersilakan Ansel duduk di sampingnya, kemudian melihat ke arah Jo. "Jo, jangan berdiri terus di pintu. Nanti kalau ada yang ngelamar, dia balik lagi."

"Iya kali yang ngelamar mau langsung nginep, Yah." Jo menjawab dengan malas.

"Kamu itu harusnya bangga punya pacar kayak Ansel. Sama Ayah aja dia perhatian, apalagi sama kamu pacarnya," lanjut Oscar.

Jo hampir tersedak mendengar kata "perhatian." Ia melirik Ansel yang tampak terhibur dengan situasi ini. Dengan nada yang terpaksa ia berusaha menyangkal, "Perhatian apa?"

"Ansel hampir tiap hari menelpon Ayah dan nanyain kabar Ayah, kabar tanaman-tanaman di kebun, dan kabar Justin," jelas Oscar.

Jo mengernyitkan alis. Tatapannya yang kemudian terlontar ke Ansel seakan-akan sedang bertanya, "yang benar?".

Ansel menahan senyum di wajahnya yang dingin, merasakan kemenangan kecil sudah di tangannya. Dalam hati, ia menikmati kebingungan dan ketidaknyamanan Jo, melihatnya seperti seekor kucing yang terpojok tapi tetap berusaha tampak tenang.

EnmeshedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang