7. Pertanyaan Tidak Profesional

156 32 7
                                    

Baca lebih banyak bab di KaryaKarsa.

=====

"Memangnya kamu pikir saya punya uang berlebih untuk melakukan hymenoplasty?!" Jo menyergah dengan keras. "Kalau saya sudah tidak virgin, saya tidak akan berani melelang tubuh saya demi dua ratus ribu dolar."

Jo melihat senyuman mencemooh Ansel dalam cahaya temaram. Seandainya Ansel tidak sedang berada di balik kemudi, Jo ingin sekali mencekik leher pria itu. Untungnya, kekesalan Jo cukup sampai di sana. Mobil yang dikendarainya sudah berbelok ke komplek perumahan tempat tinggal Jo.

Jo melihat pintu pagar rumahnya terbuka ketika mobil berhenti. Pandangan Jo menemukan dua laki-laki paruh baya sedang mencoba menggedor pintu rumahnya. Jo segera turun dari mobil Ansel tanpa berkata sepatah kata pun. Dia berlari ke teras menghampiri kedua laki-laki tersebut.

"Kalian siapa malam-malam begini menggedor-gedor rumah orang? Nggak sopan banget." Tanpa memikirkan risiko, Jo dengan berani bertanya dengan nada keras.

"Kamu pasti anaknya si Oscar," kata salah satunya yang mengenakan jaket parasut biru.

Jo sudah bisa menduga kedua orang ini pasti sedang bermasalah dengan ayahnya. Acap kali Jo menghadapi orang-orang seperti mereka karena kelakuan ayahnya.

"Ada apa lagi dengannya?" tanya Jo.

"Bapak kamu meminjam uang pada bos kami sebesar dua puluh juta. Katanya mau di kembalikan kemarin, tapi sampai hari dia belum mengembalikannya juga. Bapak kamu malah ngumpet terus. Kita sudah menunggunya sejak jam sembilan. Sebelum dia keluar, kita nggak akan pergi dari sini. Kalau sampai besok bapak kamu masih ngumpet, kita akan mengambil mobil itu sebagai jaminan," jelas laki-laki itu sambil menunjuk ke mobil Jo yang diparkir di carport.

"Enak aja. Itu mobil gue!" Kesal Jo. Belum lunas pula cicilannya.

"Kita tidak peduli," sambar pria itu.

"Parah. Sudah kayak debt collector pinjol lo semua!" balas Jo ketus. "Bilang sama bos kalian, besok gue bayarin utang bokap gue. Sore. Setelah gue pulang kerja."

"Awas lo kalau bohong!" ancam laki-laki yang lainnya yang punya tampang seseram preman terminal bus.

"Kalau gue bohong, lo bisa bawa mobil gue," tandas Jo sambil menatap menantang. "Sekarang lo berdua pergi dari sini sebelum gue panggil satpam komplek."

Kedua laki-laki itu pergi dari hadapan Jo. Sementara itu, Jo masih ngedumel sendirian. Jo kemudian mengetuk pintu karena Jo tahu ayahnya pasti mengunci diri di dalam dan melarang Justin keluar.

"Justin, buka pintunya!" teriak Jo, "Justiiin!!!"

Beberapa saat kemudian Justin membuka pintu. Jo langsung menerobos masuk.

"Mana Ayah?" tanyanya pada Justin.

"Ngumpet di dalam lemari di kamarnya."

What?! Jo mengernyitkan dahi mendengar keterangan sang adik. "Dasar loser!"

Jo bergegas ke kamar ayahnya dan benar kata Justin, ayahnya sedang bersembunyi di dalam lemari pakaian.

"Ngapain ayah di sini? Ngumpet? Kalau bikin masalah tuh, diberesin. Jangan ngumpet!" omel Jo sambil memegangi pegangan pintu lemari.

Oscar, ayah Jo, keluar dari lemari. Pria bertubuh subur yang mengenakan celana pantai pendek dan kaus oblong putih itu menatap Jo dengan waswas. Pasalnya, dia tahu anak sulungnya itu akan marah besar. Oscar sudah berkali-kali membuat Jo kesulitan.

"Jo, Ayah—"

"Ayah sudah janji sama Jo dan Justin mau berhenti berjudi, tapi Ayah masih melakukannya lagi," potong Jo dengan nada geram, "Ayah pikir Jo itu mesin pencetak uang yang setiap saat bisa membayari utang judi Ayah?"

EnmeshedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang