"Apa keinginan terbesarmu, Yuuki?"
Keheningan yang sebelumnya melanda dipecahkan oleh suara laki-laki di balkon, yang iris coklatnya menatap prihatin pada perempuan berkulit pucat di atas kasur rawat inap. Tanpa merasa terganggu oleh udara dingin yang masuk melalui pintu balkon yang tak tertutup, keduanya saling berbagi waktu dan kasih hingga membentuk kehangatan dihati masing-masing.
"Mungkin, ini terdengar seperti keegoisan, bahwa aku ingin ia bahagia tanpaku. Bahwa aku ingin dia menyadari betapa berwarnanya dunia ini." ucap perempuan itu sambil tersenyum pilu.
Menyadari bahwa ajalnya tinggal menunggu waktu, membuat harapan untuk bertemu sang kasih pun kian menghilang. Padahal dirinya sangat mencintai seseorang yang menjadi kembaran pemuda di dekatnya saat ini. Namun, kisahnya tetap akan menjadi satu sisi pandang yang akan berakhir kandas begitu saja.
Sebab keadaan nya yang terkucilkan membuat kasihnya tak menyadari perasaan tersebut. Kalau dikatakan pun hanya akan meninggalkan luka baru jika ditolak, dan akan menyakiti kalau pemuda itu membalas cintanya padahal hidup gadis itu tak lama lagi berakhir.
"Bagaimana dengan 'dia'? Apakah baik-baik saja tanpa mu?"
Mereka saling bersitatap, "Soal itu aku sudah bilang padanya untuk menemukan kebahagiaan nya. Aku ingin 'dia' tetap tumbuh besar dan menjadi perempuan hebat kelak."
Laki-laki itu memegang dagunya, "Aku penasaran dengan 'dia'. Apakah hubungan kalian tidak baik? Kelihatannya 'dia' tidak pernah ada untuk merawatmu."
"Seenaknya bilang begitu, padahal hubungan kami sangat baik, lho. Hanya, mungkin dia terlalu rapuh untuk melihat ku terbaring tak berdaya seperti ini. Karena baginya, aku ini kan idolanya." punggungnya perlahan disenderkan pada permukaan kasur.
Beberapa saat si hawa tertawa, teringat akan sebuah memori yang membuat sang pemuda penasaran, "Tetapi, pada saat itu aku memintanya untuk mengabulkan satu keinginan ku setelah tiada nanti."
"Apa memangnya?"
"Aku ingin, 'dia' bersedia melukiskan saudaramu dan membuat karyanya abadi."
Terlihat pemilik surai abu itu terkejut. Bahkan diujung hidupnya, perempuan satu ini masih bisa memikirkan orang lain yang bahkan sama sekali tak menyadari eksistensinya. Dan, tanpa memastikan keinginannya terkabul bisa saja ia pergi duluan.
"Bagaimana kalau 'dia' tidak mewujudkannya?"
"Karena itulah dirimu yang harus memastikannya. Walaupun begitu aku percaya, dan kau juga harus percaya padanya, karena kami sama namun juga berbeda."
Entah reaksi seperti apa yang cocok untuk menjawab pernyataannya. Di luar itu semua, mustahil ada seseorang yang berniat mewujudkannya.
"Ku mohon padamu, ya, Osamu."
***
Kini Atsumu berada di ruangan tempat [Name] biasa menghabiskan waktunya. Anehnya kali ini dia menemukan ruang hampa tanpa seorang pun di sana. Karena tak kunjung menemukan gadis yang dicarinya, Atsumu memutuskan untuk kembali mencari di esok hari.
Tetapi, mendadak ia teringat ucapan kembarannya, "Jangan pulang sebelum minta maaf pada Yuuki. Dan, untuk jaga-jaga, dokumentasikan momen saat kau bersamanya."
Dan, sebagai saudara yang baik, Atsumu tidak ingin membuat Osamu makin darah tinggi. Jadi, dengan mengorbankan waktu latihannya, ia terus mengelilingi area sekolah demi mencari pemilik marga Yuuki tersebut.
Naas di antara semua tempat pencarian Atsumu tak menemukannya di mana pun. [Name] tak ada di kelas, lapangan belakang, taman, rooftop, atau di mana pun itu. Padahal saat ditanyakan pada teman sekelasnya, gadis itu masuk dan katanya pergi ke ruang eskulnya seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
WARNA [Miya Atsumu x Reader]
FanfictionAtsumu terjebak dalam hubungan dengan seorang gadis. Siswi yang dikatakan hidup hanya untuk mengabdi pada seni. Awalnya, ia memang terlihat membosankan. Sampai hanya Atsumu melihat sisi lain yang tak tersentuh darinya. "Aku jatuh ke dalam pesonamu...