Bab 08. Empat Mata, Satu Hati
Bisakah aku berharap sebentar?
Rakha menggeram marah ketika sadar kalau Naysila masih mengikutinya dari belakang. Mereka tak sengaja bertemu saat Rakha mencari buku Kimia di perpustakaan, dan sampai sekarang, gadis itu bahkan tak membiarkan Rakha hilang dari pandangannya. Sedari tadi Naysila terus memanggil namanya, dan itu membuat Rakha menjadi semakin muak dengan keberadaan gadis itu.
"Bisa berhenti ikutin gue nggak sih?!" bentak Rakha dengan dahi yang berkerut kesal. Napasnya tak beraturan dengan sorot mata begitu tajam saat melihat Naysila yang malah menatapnya tanpa takut.
"Kak─"
"JANGAN NGOMONG SAMA GUE! Pergi sana!" Rakha masih diliputi oleh emosi yang membuatnya terus berteriak dengan kesal.
Naysila mengerucutkan bibirnya. Kenapa Rakha ini begitu galak saat bersamanya? Padahal biasanya ia selalu melihat Rakha dengan mudah tersenyum pada banyak gadis. Mungkin ia adalah salah satu pengecualian. Rasanya begitu tidak adil. Kenapa hanya dirinya yang tidak diijinkan berada di dekat cowok ini? Kenapa hanya padanya Rakha akan terlihat tidak suka dan begitu sensitif?
Ah, Naysila jadi sakit hati memikirkannya.
"Kenapa si harus gue?! Masih banyak cowok yang bisa lo gangguin, gue sibuk. Nggak usah ngikutin gue lagi!"
Naysila berdecak, bisakah Rakha ini sehari saia tidak marah-marah padanya? Apa cowok itu tidak takut cepat keriput karena selalu tarik suara saat bersamanya?
"Tapi kak ─"
"TINGGAL PERGI AJA APA SUSAHNYA SIH?! NGGAK PERLU JAWAB OMONGAN GUE, BISAKAN LO ─"
"IIHH, DENGERIN DULU BISA NGGAK SIH?! Aku cuma mau balikin buku kakak yang ketinggalan di perpus!" Dengan kesal, Naysila memotong ucapan Rakha. Meluruskan kesalahpahaman agar tidak membuat Rakha semakin mengamuk lagi padanya. Padahal ia tidak salah apapun, tapi cowok ini rupanya terlalu percaya diri.
Dengan kesal dan tidak ikhlas, Naysila meletakkan buku Kimia pada tangan Rakha. "Nih! Udah, aku pergi!" ujarnya yang kemudian langsung pergi dengan kaki dihentakkan dan mulut yang sibuk mendumal tak terima disalahkan oleh Rakha. Niatnya baik, tapi sepertinya Rakha memiliki trust issue pada Naysila.
▪▪▪
Danu melangkah menyusuri koridor yang akan membawanya pada tangga untuk bisa sampai ke rooftop sekolah. Sambil membawa cokelat dan note yang tadi ia temukan di dalam laci mejanya.
Kalau boleh jujur, Danu sangat jarang sekali pergi ke rooftop. Mungkin hanya beberapa kali dalam sebulan, itupun kadang-kadang karena bujukan dari Rakha yang memaksanya ikut merokok di rooftop.
Krieeettt
Pintu kayu yang sudah usang itu perlahan terbuka. Menampilkan pemandangan langit siang yang begitu segar dan panas. Sebenarnya aneh sekali, bagaimana Danu bisa dengan mudahnya mengikuti apa yang orang asing ini suruh? Apakah ia tidak takut kalau ternyata orang itu adalah penculik atau pembully yang akan menghabisinya di rooftop?
Danu mengedikkan bahunya acuh. Pikiran random memang kadang-kadang suka menguasai otaknya sehingga membuat dia ragu akan hal yang tengah ia kerjakan. Tapi ya sudahlah, Danu tak mau waktunya untuk berjalan sampai ke sini sia-sia begitu saja. Lagipula, kalaupun nanti orang itu akan menghajarnya, mau bagaimana lagi? Sudah takdir, ia tinggal pasrah saja.