Wattpad Original
Ada 7 bab gratis lagi

SATU: The Ocean at the End of the Lane

28.8K 2.2K 47
                                    

Seperti biasa, Karina adalah orang paling ngaret sedunia jika dihadapkan dengan janjian makan siang bareng sahabat terbaiknya sejak SMP. Gayatri menghela napas berat seraya mengalihkan pandangan ke luar jendela dengan bosan, kepalanya bertopang di telapak tangan. Siang itu adalah hujan badai terderas yang pernah hadir sepanjang tahun ini, ketika Gayatri Narayana terjebak di meja paling ujung dekat dinding kaca di salah satu kafe. Waktu sudah terlewat tiga puluh menit dari kesepakatan pertemuan mereka, dan Gayatri tidak bisa menyalahkan keterlambatan Karina sepenuhnya karena faktor 'bilangnya sudah otw padahal belum mandi'. Mungkin hujan badai membuat perjalanan menjadi lebih lama ditempuh, atau jalanan depan rumah Karina yang posisinya lebih rendah dari selokan, sedang tergenang banjir. Untung saja Gayatri punya kebiasaan untuk datang lima belas menit lebih awal dari waktu janjian, sehingga dia tidak perlu mengalami rasa dingin terjebak di lampu merah dengan mantel tipis dan kaca helm-nya buram karena kena uap air. Menunggu itu membosankan, dan Gayatri mulai mati gaya.

Gayatri sesap gelas kedua teh panasnya yang kini telah menjadi dingin lamat-lamat seraya memandang ke luar. Embusan angin menampar-nampar pohon di pelataran parkir dengan luar biasa dahsyat, membuatnya sedikit khawatir jika pohon tersebut roboh dan menimpa motornya yang terparkir beberapa meter dari sana. Agak menyesal juga Gayatri memarkirkan kendaraannya dekat pintu masuk, karena bagian depan kafe ini dihiasi oleh barisan pohon angsana yang teduh, tetapi memberikan mimpi buruk bagi siapa saja saat cuaca sedang kurang bagus seperti sekarang. Ia begitu terhanyut menikmati suasana mencekam di luar, hingga tidak menyadari jika sebentuk suara bariton tengah berbicara padanya.

"Permisi, Mbak."

Gayatri menoleh ke arah sumber suara dengan sedikit terkejut. Sesosok pemuda jangkung berpakaian rapi berdiri di sisi mejanya dengan senyum mengembang yang terlihat begitu tampan. Dari penampilannya, ia sama sekali tidak tampak seperti pramusaji—bahkan Gayatri belum memesan apa-apa selain satu poci teh yang nyaris dingin ini. Ia mencoba mengingat, di mana pemuda tampan ini pernah ditemuinya, namun sepertinya ia tidak mengenali wajah itu. Lantas mengapa dia menyapa Gayatri jika mereka berdua tidak saling mengenal? Dan si jangkung ini pun tampak menyadari sorot mata tak bersahabat yang Gayatri tujukan padanya.

"Sori sebelumnya, saya mau tanya, apa boleh saya meminjam satu kursi?" Cara bicaranya yang santun dan lembut, membuat Gayatri sedikit tidak tega jika hendak membalasnya dengan galak.

Gayatri memandang berkeliling. Empat puluh lima menit lalu ketika ia pertama kali membuka pintu depan, kafe ini cukup lengang dengan banyak meja-meja yang masih kosong. Namun saat ini ruangan tersebut tidak kalah ramai dari pasar induk dan hampir tak ada meja kosong, kecuali meja sebelahnya yang bahkan hanya ada satu kursi—karena mungkin telah diambil oleh orang-orang di meja lain yang datang bergerombol dan mereka butuh kursi tambahan.

"Oh, boleh, Mas. Ambil aja." Gayatri menyilakan pemuda tersebut mengambil kursi di sebelahnya dengan gerakan tangan.

"Terima kasih," ucapnya masih dengan kesantunan yang tidak berkurang. Sopan sekali, puji Gayatri dalam hati.

Gayatri hanya menganggukkan kepalanya sekilas sebagai balasan. Ia kembali memandang tetesan hujan, namun entah mengapa kini tidak lagi terlihat menarik baginya. Justru sesekali ekor matanya tertaut pada pemuda dari meja sebelah yang kini mengeluarkan buku bersampul biru. The Ocean at the End of the Lane. Selera bacaannya boleh juga, pikir Gayatri. Amat jarang baginya untuk menemukan sesama pembaca karya-karya Neil Gaiman, tetapi mungkin sedari awal Gayatri tidak memiliki cukup teman untuk membuat statistik tersebut.

Ia kembali memeriksa jam digital pada ponsel pintarnya. Sudah satu jam lebih lima menit. Karina masih belum terlihat batang hidungnya. Gayatri mulai merasa jenuh. Ada gim bercocok tanam di ponselnya, tetapi ia tidak yakin seberapa lama dia bisa bertahan dengan baterai ponsel kurang dari 70 persen. Ia putuskan untuk membaca buku juga. Ada American Gods dalam ranselnya. Tapi ia tidak ingin memberi kesan ikut-ikutan pada pemuda sebelah, karena membaca buku Neil Gaiman juga. Jadi Gayatri putuskan untuk membaca buku yang lain, Norwegian Wood.

Sebuah keputusan yang kurang tepat, menurutnya, ketika mengingat lagi bagian terakhir yang dia baca dan bab berikutnya tentang Naoko yang diam-diam mendatangi Toru seraya melucuti pakaiannya. Sungguh, Gayatri agak menyesali mengapa ia ikut-ikutan Karina untuk baca Norwegian Wood, terutama di ruang terbuka seperti sekarang. Sepuluh halaman terlewati dengan lancar, ketika pemuda tadi mengusik konsentrasinya.

"Saya nggak mengerti, mengapa belakangan ini banyak orang tertarik dengan Murakami." Pemuda itu mengajaknya bicara lagi sambil mengangkat bahu. "Bahkan barista saya, Ardian, nangis sesenggukan di pojok gudang gara-gara baca Sputnik Sweetheart. Memangnya sebagus apa karya-karya Murakami?"

Gayatri mengedikkan bahunya dengan santai. "Mengapa Anda tidak coba baca sendiri bukunya?"

"Sudah!" Cowok itu menghela napas berat seolah menyuarakan rasa frustrasinya. "Tetapi mungkin saya saja yang bodoh, karena saya sudah baca Kafka on the Shore, tetapi baru sampai bagian awalnya saja saya sudah muak dengan pergantian sudut pandang penceritaan antara Kafka dan Nakata yang cukup membingungkan."

Gayatri menyelipkan pembatas buku pada bagian terakhir yang dia baca sebelum menatapnya lekat. "Mungkin karena buku tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi Anda saat membacanya. Barista kenalan Anda menangis tersedu karena Sputnik Sweetheart yang jika mau disederhanakan, adalah kisah cinta bertepuk sebelah tangan antara dua orang wanita dan sedikit campur tangan worlbuilding yang agak magis menjelang bagian akhir cerita. Mimpi-mimpi surealis Sumire tentang Miu dan kepergiannya yang tiba-tiba memang membingungkan jika kita mencoba menelaah dengan logika. Sedangkan Kafka on the Shore adalah cerita beranjak dewasa dari seorang Kafka yang terhubung dengan Nakata lewat Bapak Kafka yang dibunuh oleh Nakata."

Lawan bicara Gayatri terdiam, mungkin sedang mencerna kata-kata Gayatri, atau sebaliknya, menjadi semakin bingung karena Gayatri membocorkan bagian paling seru dari novel tersebut.

"Anda anak sastra, ya?" tebak pria tersebut. Gayatri mengulum senyum simpul, jemarinya mengetuk-ngetuk sampul keras Norwegian Wood-nya.

"Lebih tepatnya sudah lulus setahun yang lalu."

Gayatri menunggu semenit penuh untuk memastikan tidak ada lagi yang ingin mereka bicarakan, sebelum kembali melanjutkan membaca. Setengah halaman terlewati, sebelum sebentuk tangan terjulur ramah.

"Nama saya Niko, ngomong-ngomong. Kita sudah ngobrol panjang lebar, tapi kurang sopan rasanya jika kita belum berkenalan langsung."

Gayatri sambut dengan senyum tipis, "Aya."

Di detik tangannya bersentuhan dengan jemari kokoh Niko, Gayatri menyadari ada yang ganjil pada Niko.

Dia memakai cincin yang sama persis dengan cincin bermata zamrud miliknya. Cincin warisan dari almarhumah Nenek Soetanti. Ia ingat betul karena belum genap seratus hari setelah kepergian Nenek Soetanti, dan ia melihat cincin yang dimaksud hampir setiap hari sejak benda tersebut berubah kepemilikan padanya. Yang membedakan hanyalah cincin milik Niko lebih minim ukiran pada bagian yang membelit batu zamrudnya dan diameter batunya lebih besar. Gayatri tersekat, seolah seluruh udara di dalam paru-parunya dipaksa keluar secara bersamaan.

Cincin Bermata ZamrudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang