Setelah mengambil wudhu dan berganti pakaian bersih dengan telaten Naufan membersihkan luka di kakinya dengan alcohol swab dan mengganti perbannya dengan yang baru.
Di lihatnya beberapa lebam sudah mulai memudar, hanya satu atau dua yang masih basah dan terasa sakit.
Sedikit bersyukur karena luka yang ditimbulkan kebanyakan hanya lebam yang akan segera sembuh dan memudar.
ceklek/
"Kalau masuk kamar orang lain tuh biasain ketok pintu dulu bisa ga sih?," ucap Naufan sewot.
Tersangka yang dimaksud hanya terkekeh ringan, dan itu terdengar menyebalkan di telinga Naufan.
"Orang lain dari mana? orang lu adek gue."
Fariz kemudian menutup pintu kamar Naufan, meletakkan barang yang ia bawa di atas meja belajar Naufan dan segera beranjak ke kasur untuk merebahkan diri.
"Serah deh."
Naufan kembali fokus pada plaster yang akan ia tempelkan pada perban baru yang membalut lukanya, dan selanjutnya membereskan kembali p3k itu pada tempatnya.
"Habis darimana lo kak?," tanya Naufan pada Fariz yang sibuk dengan gadgetnya.
Mendengar itu Fariz segera bangkit dari rebahannya kemudian mengambil barang bawaannya tadi.
"Gue tadi abis ke gramed beli ini buat lu."
"Buat gue?,"
"Iya, buruan dibuka," ucap Fariz yang kembali fokus pada gadget di tanganya.
Naufan kemudian meraih paper bag bewarna coklat itu dan mengeluarkan isinya.
'Buku Pintar Matematika Untuk SMP'
Begitulah tulisan yang tertera pada sebuah buku yang Naufan tarik keluar.
"Buat apa kakak beli buku ini buat Naufan?"
Fariz yang mendengar itupun menolehkan kepalanya pada Naufan.
"Buat apa lu bilang? ya buat belajar dong Naufan,"
Naufan masih diam.
"Ayah bakal keluar kota selama 2 Minggu, dan selagi ayah nggak ada dirumah gue bakal bantuin lo belajar dan buat ayah bangga," jelas Fariz.
"Oh, jadi yang gue lakuin selama ini ga pernah bikin ayah bangga ya?"
Fariz terdiam sepertinya ia salah dalam berucap.
"Enggak gitu Naufan ayah cuman pingen lo jadi pinter kaya kakak nggak cuma di non-akademik tapi di akademik juga."
"Iya bener kan, selama ini gue goblok cuma bisa main bola aja kerjaannya sampai lupa waktu mana bisa bikin ayah bangga, gue kan bukan lo yang apa-apa serba bisa. Gue gak sepinter lo kak."
"Bisa Naufan lo bisa kalau ada usaha, gue bakal bantuin setiap kali lo belajar oke" yakin Fariz.
"Daripada itu kenapa kakak gak bantuin gue ngeyakinin ayah kalo prestasi itu nggak harus selalu tentang nilai."
Fariz terdiam ia bingung harus menanggapi Naufan seperti apa lagi. Ia juga ingin mengatakan itu dan meyakinkan pada sang ayah bahwa adiknya berprestasi dalam bidang yang lain tapi ayahnya tak pernah menggubris itu.
"Dek.."
"Iyadeh iyaa.. sana lo keluar dulu gue mau sholat, gak khusyuk gue kalo ada muka lo." Sela Naufan.
Remaja itu beranjak menuju lemari mengambil perlengkapan sholat seperti sarung serta sajadah untuk digelar mengabaikan Fariz yang masih berada di atas kasurnya.
Tak lama Fariz bangkit menghampiri adiknya.
"Semangat. Kakak selalu dukung kamu kakak selalu bangga sama kamu dek."
"Ya itu mah kak Fariz bukan ayah"
batin Naufan.Fariz tersenyum tangannya terangkat untuk mengusap rambut Naufan, namun segera di tepis oleh sang empu rambut.
"Jangan sentuh gue nanti batal."
Fariz terdiam masih mencerna ucapan Naufan.
"YEUU LO KIRA GUE APAAN!"
***
Malam harinya setelah makan malam Naufan langsung kembali ke kamar untuk merebahkan tubuhnya.
ting!
ting!Naufan meraih handphonenya untuk melihat beberapa notifikasi pesan yang masuk.
Naufan hanya membaca chat tersebut tanpa berniat membalasnya.
Entah ambisi dari mana tiba-tiba Naufan berpikir untuk mengerjakan soalnya sendiri. Maka dengan semangat ia beranjak dari kasur.
Namun baru saja kaki kanannya menapak pada lantai tiba-tiba saja Naufan merasakan nyeri pada pergelangan kakinya hingga membuat tubuhnya tersungkur kedepan.
bruk!
"Akhss.. sakit banget jir."
Dengan keadaan bersimpuh di lantai Naufan dengan pelan memijat titik nyeri pada kakinya. Rasanya sangat sakit Naufan pikir itu berasal dari luka pukulan yang ayahnya berikan tapi sepertinya tidak, rasa ngilu itu ada pada tulangnya bukan kulit kakinya yang terluka.
Setelah dirasa nyerinya berkurang Naufan pun bangkit dengan perlahan menjadikan kursi belajarnya sebagai tumpuan untuk berdiri.
Dengan perlahan Naufan melangkah untuk bisa duduk di kursi belajarnya.
"Hhh jadi gak mood belajar."
Secepat itu semangat belajar Naufan menguap, akhirnya remaja itu berakhir hanya memutar-mutarkan kursinya sembari menatap langit-langit kamar. Menit berlalu pandangannya kini berhenti pada beberapa medali emas dan piagam yang tergantung tepat dia atas meja belajarnya.
"Seenggak membanggakan itu ya Naufan di mata ayah?." Mata itu memanas bersiap menumpahkan kristal bening dari netra kelam itu, namun sebelum itu terjadi Naufan segera mengelapnya dengan lengan bocah itu menarik napasnya kemudian beranjak menuju kasurnya bersiap untuk memulai mimpi.
kkeut
KAMU SEDANG MEMBACA
NAUFAN
Novela Juvenil"manusia tidak akan pernah menyadari apa yang mereka miliki sampai mereka kehilangan nya" start _ Jumat 8 Maret 2024 finish _