Beberapa tahun telah berlalu sejak insiden itu, dan Kathrin kini hanya hidup berdua dengan buah hatinya - anak perempuan yang sangat cantik dan ceria. Tanpa kehadiran Christian, Kathrin harus melewati masa-masa sulit sendirian, namun dia tidak pernah menyerah.
Hari-hari Kathrin dipenuhi oleh kesibukan merawat dan membesarkan anaknya. Meskipun terkadang merasa lelah, Kathrin selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Dia memastikan anaknya tumbuh sehat dan bahagia, meski hanya dengan seorang diri.
Kathrin memang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka berdua. Namun, melihat senyum dan tawa bahagia anaknya, semua itu terasa terbayar. Kathrin begitu bangga dan bahagia menjadi seorang ibu. Dia tidak pernah menyesali keputusannya untuk mempertahankan kehamilannya.
Di sela-sela kesibukan, terkadang Kathrin masih memikirkan Christian. Dia bertanya-tanya apakah pria itu masih hidup, atau sudah menikah dan memiliki keluarga sendiri. Kathrin ingin sekali membawa anaknya menemui Christian, agar pria itu bisa melihat darah dagingnya sendiri. Tapi Kathrin tahu, ini semua sudah terlambat.
Meskipun hatinya terluka, Kathrin tidak ingin anaknya tumbuh dalam ketiadaan seorang ayah. Dia berusaha keras menjadi sosok ibu sekaligus ayah bagi buah hatinya. Kathrin memberikan kasih sayang, perhatian, serta teladan yang terbaik, berharap anaknya tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
Hari demi hari berlalu, namun Kathrin tidak pernah berhenti berharap bahwa suatu hari nanti, Christian akan kembali dan meminta maaf, serta turut serta membesarkan anak mereka. Meski mustahil, Kathrin tetap menyimpan secercah harapan itu di dalam hatinya yang terluka. Karena saat ini, satu-satunya yang Kathrin pedulikan hanyalah memastikan anaknya tumbuh bahagia dan merasa dicintai.
Setelah beberapa tahun menuntut ilmu di luar negeri, Christian akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Di dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang masih belum selesai, sesuatu yang terus memanggilnya untuk pulang.
Semakin hari, bayangan Kathrin dan anak mereka semakin kuat menghantuinya. Christian tidak bisa lagi mengabaikan rasa bersalah dan penyesalan yang selama ini dirasakannya. Dia tahu bahwa dia telah melakukan suatu kesalahan besar dengan meninggalkan Kathrin dan anaknya begitu saja.
Dengan tekad yang bulat, Christian mempersiapkan dirinya untuk kembali ke Indonesia. Dia ingin meminta maaf kepada Kathrin, mempertanggung-jawabkan perbuatannya di masa lalu, dan berusaha untuk memperbaiki semuanya. Meski Christian tahu bahwa Kathrin mungkin sudah tidak ingin menemuinya lagi, dia tetap bertekad untuk mencoba.
Setelah mendarat di bandara, Christian segera mencari informasi tentang keberadaan Kathrin. Dia melacak alamat terakhir yang dia ketahui, berharap Kathrin masih tinggal di sana. Dengan jantung berdebar-debar, Christian akhirnya tiba di depan sebuah rumah sederhana.
Ketika pintu terbuka, Christian terkesiap. Di hadapannya berdiri seorang gadis kecil yang begitu mirip dengan Kathrin di masa lalu. Dia tahu, tanpa diragukan lagi, bahwa gadis ini adalah putrinya. Rasa haru dan penyesalan memenuhi dada Christian.
"Maaf, apakah Ibu ada di rumah?" tanya Christian dengan suara tercekat.
Gadis kecil itu memandangnya dengan tatapan penuh tanya. "Ibu sedang bekerja. Bapak siapa?"
Christian menelan ludah. "Saya... saya adalah... ayahmu."
Mendengar itu, gadis kecil itu terlihat bingung dan sedikit takut. Christian tahu bahwa dia harus berhati-hati dalam menghadapi situasi ini. Dia harus bisa meyakinkan putrinya, dan juga meminta maaf kepada Kathrin atas semua yang telah terjadi.
Dengan penuh kerendahan hati, Christian bersiap untuk pertemuan yang akan menentukan masa depan mereka semua.
Ketika Kathrin tiba di rumah dan mendapati Christian berdiri di depan pintu bersama putrinya, ia terkejut bukan main. Setelah sekian tahun menghilang tanpa kabar, pria itu kini tiba-tiba muncul kembali, seolah-olah mengklaim hak atas buah hatinya.
