"Dokter Luis sudah pulang?" tanya Bela yang datang sambil membawa dua buah mi instan cup yang rencananya ingin ia nikmati bersama Luis.
Perawat mengangguk. "Tuan Luis pulang dari sore," jawab perawat itu.
Bela langsung murung mendengarnya. Semalam ia ingat sekali jika Luis bilang kalau ia akan disini selamanya. Memang Bela tidak berharap Luis akan ada disini selamanya, tapi Bela juga tak menyangka jika Luis akan pergi secepat ini. Tapi di tengah kesedihannya Bela juga sadar jika ia bukan siapa-siapa yang bisa mengatur Luis. Ia bukan dokter yang menangani Luis dan menentukan kapan Luis harus pulang atau masih harus tinggal, ia hanya seorang perawat magang.
"Ah begitu..." ucap Bela berusaha terlihat baik-baik saja.
"Bela?" terdengar suara Luis yang mengejutkan Bela dari belakang.
"Dokter Luis!" seru Bela dengan senyumnya yang benar-benar sumringah lalu menunjukkan dua cup mi intan yang ia bawa.
Luis juga menunjukkan sebuah plastik berisi cemilan lalu tersenyum. "Kau mencariku?" tebak Luis.
Bela langsung mengangguk sambil memamerkan giginya yang putih dan berjajar rapi. "Aku melihat ini diskon, beli satu gratis satu. Dokter sudah makan malam?"
Luis menggelengkan kepalanya lalu mempersilahkan Bela masuk kedalam ruangannya. Berbeda dari biasanya kali ini Luis tidak datang dengan membawa tumpukan buku tapi ia hanya datang dengan membawa cemilan saja. Luis juga membawa sepatu larinya, jelas Luis akan memulai kehidupannya kembali dan menyudahi masa isolasinya.
Luis melemparkan senyuman pada perawat yang berjaga untuk pertama kalinya sebelum ia menutup pintu kamarnya. Bela di dalam sudah mulai menyiapkan minya, menyeduhnya dengan air panas dari dispenser air. Bela juga menata cemilan yang Luis bawa kedalam rak yang ada di dekat dispenser.
"Aw!" pekik Bela refleks ketika Luis mengelus kepalanya, Luis langsung menjauhkan tangannya lalu menatap Bela dengan penuh selidik. "A-ah...kepalaku tadi terbentur. Sepertinya benjol jadi sakit," ucap Bela dengan gugup.
Luis tertawa kecil jelas ia sudah tau apa yang Bela alami terlebih ia tadi sempat mengamati tempat tinggal Bela juga.
"Dari lukanya tidak seperti terbentur," ucap Luis lalu duduk di sofa menunggu minya matang.
Bela tersipu malu, ia sering berbohong pada Luis. Padahal Bela tak bermaksud membohongi dokter yang sudah menolong nyawa ibunya itu.
"Sudah diobati?" tanya Luis.
Bela mengangguk pelan. Luis tertawa kecil melihat reaksi Bela, jadi ia tetap mengambil kotak P3Knya dan mengobati Bela.
"Dokter!" pekik Bela berusaha menolak namun akhirnya tetap pasrah menerima pertolongan Luis untuk mengobatinya.
"Siapa yang menarik rambutmu?" tanya Luis setelah selesai mengobati.
"A-ayahku...t-tapi dia tidak sengaja!" jawab Bela yang tidak ingin membuat ayahnya terlihat buruk dimata Luis.
Luis tersenyum lalu mengangguk menerima kebohongan yang meluncur dari bibir Bela. Jelas Bela bukan pembohong yang baik. Dia selalu terbata-bata dan gugup setiap kali berbohong. Tidak hanya itu, Bela juga akan langsung memalingkan wajahnya juga setiap kali ia berbohong. Jadi jelas ia terlalu mudah untuk di tebak.
Bela ikut tersenyum dengan canggung lalu menyodorkan mi instan untuk Luis. Bela langsung menyantap mi instannya yang masih panas dengan terburu-buru. Ia sudah kelaparan. Tangannya yang kurus dan memiliki banyak bekas luka juga terlihat gemetar.
"Aku beli sosis," ucap Luis sambil menunjuk rak disamping dispenser. "Ambilah kalo mau," lanjutnya yang memang sengaja membeli semua cemilan untuk dinikmati bersama Bela.
Bela tersenyum lalu mengangguk dan langsung mengambil dua buah sosis. Jika awalnya Luis mengira Bela mengambil sosis-sosis itu untuknya sendiri, ia salah. Bela mengambilkan untuknya juga.
"Hah...lagi-lagi aku selalu merepotkan Dokter," ucap Bela sambil menghela nafas.
Luis menatapnya lalu tersenyum. "Tidak masalah," jawab Luis santai sembari menikmati mi instannya.
Sudah lama ia tidak menikmati makanannya seperti sekarang, sudah lama juga Luis tidak menikmati mi instan seperti sekarang.
"Kenapa tidak melapor pada polisi saja jika kau terus di pukul?" tanya Luis penasaran dengan Bela.
Bela menggeleng pelan. "Aku masih ingin hidup," jawab Bela dengan mata yang langsung berkaca-kaca.
Luis terdiam heran dengan jawaban Bela. Luis menganggap Bela adalah pribadi yang cukup mandiri. Meskipun menjadi perawat dan masih magang tidak menghasilkan banyak uang. Tapi rasanya itu pasti sudah cukup jika hanya untuk menghidupi Bela seorang diri. Toh sepertinya Bela bukan wanita yang menggilai pakaian mahal dan haus akan kemewahan.
"Ibu pernah melaporkan Ayahku ke polisi. Mereka hanya menahannya sebentar. Setelah itu Ayah pulang dan langsung menhajar ibuku yang baru masa pemulihan pasca oprasi itu hingga meninggal. Ahh...aku sangat membencinya. Dia sudah sakit-sakitan, tapi kenapa umurnya panjang sekali," lanjut Bela yang keterusan jadi curhat dan mengeluh.
"Kau ingin Ayahmu mati?" tanya Luis dengan sebelah alis terangkat.
Bela tersenyum kikuk. "Kedengaran jahat ya?" Bela balik bertanya.
Luis tersenyum, ia merasa memiliki sebuah kesamaan dengan Bela sekarang.
"Aku hanya lelah mengurusnya, menerima kemarahannya, membersihkan rumah dan kotorannya, lalu aku masih harus mencari uang dan dia akan merampas semuanya. Hidup terasa tidak adil. Aku perlu istirahat."
Luis mengangguk. "Kau ingin sikap buruk ayahmu hilang atau ayahmu hilang?" tanya Luis sambil membuka sosisnya.
Bela tersenyum mendengar pertanyaan Luis. "Entahlah, semuanya terdengar menyebalkan. Mungkin aku ingin menyingkirkannya saja," jawab Bela lalu tertawa pelan namun tak berapa lama senyumnya hilang.
"Apa tetanggamu tidak tau kalau kau di aniaya?" tany Luis memastikan.
"Mereka tau, tapi diam saja. Semua orang tau," jawab Bela lalu terdiam dalam lamunannya.
Ia seperti terpental ke saat-saat Ayahnya masih sehat dan ia dipukuli habis-habisan hanya karena tidak mendengar teriakannya saat memanggil Bela. Semua orang hanya diam, beberapa menertawakannya. Bahkan saat ia terpincang-pincang meminta tolong, semua orang seolah buta dan tuli mengabaikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
POISON
RomanceLuis (35) seorang mantan dokter bedah yang mengalami depresi sertra tauma pasca kegagalan oprasi yang ia kerjakan, jatuh dalam keterpurukan di bangsal rumah sakit jiwa. Ketakutannya untuk menghadapi kenyataan di tambah dengan segala makian yang teru...