Stiven sepertinya benar-benar membagikan brosur pet shop milik Luis, beberapa orang datang dengan bangga mengatakan kalau tempat ini di rekomendasikan dr. Stiven. Luis tak suka dengan orang-orang yang datang itu, ia benci tiap nama Stiven di sebut. Kalau saja Bela tak terlihat senang saat merawat hewan-hewan ini, sudah jelas Luis akan membunuh mereka semua.
"Stiven baik ya," ucap Bela sembari memberi makan beberapa kucing yang mendekat padanya.
Luis mengangguk dengan senyum yang perlahan memudar dari wajahnya dan memeluk Bela dari belakang dengan erat. "Aku bagaimana?" tanya Luis manja.
Bela tersenyum lalu mengelus tangan Luis lembut. "Kau yang terbaik di dunia ini, nomer satu selamanya!" seru Bela dengan ceria lalu meletakkan makanan kucingnya untuk memeluk Luis yang jauh lebih tinggi darinya.
Belum lama Bela memeluk Luis, tiba-tiba Luis melepaskan pelukannya dan pergi dengan terburu-buru keluar tanpa berkata apapun pada Bela. Bela jelas bingung mengingat sudah mulai mendung dan baru saja ia hendak memanjakan Luis. Luis kali ini bukan hendak memata-matai Stiven, tapi ia merasa perlu segera meresmikan Bela sebagai miliknya sebelum Stiven mengambilnya.
Luis berlari membawa dompetnya dengan tergesa-gesa menuju sebuah toko emas. Ia perlu membeli cincin, ia perlu menunjukkan kesungguhannya. Paling tidak Bela harus tau kalau ia sudah milik Luis seutuhnya. Namun di tengah perjalanannya gerimis mulai turun yang perlahan menjadi hujan. Tak masalah, Luis memiliki cukup waktu untuk memilih cincinnya dan Bela juga sibuk dengan pet shopnya sementara waktu.
***
"Aku sudah mengorbankan banyak hal, tidak bisakah kita mengobati kepalanya?" tanya Alan pada Heny, psikiater yang merawat putranya.
"Ini akan memakan waktu yang panjang, dr. Erik mengalami guncangan yang cukup hebat. Ini seperti ia sudah sejak lama menyimpan traumanya, kesedihan, dan..."
"Hentikan omongkosong itu, apa yang diperlukan? Naikkan dosisnya, sebelum pergantian tahun dia harus menggantikan posisiku," sela Alan yang enggan mendengar penjelasan soal kesehatan mental yang di alami putranya.
Bukan tanpa alasan Alan enggan mendengarnya. Tapi ia enggan mendengar penjelasan bertele-tele yang endingnya hanya akan menyudutkannya. Soal trauma masalalu lah, soal kesedihan, soal masa kanak-kanak, tekanan untuk menjadi dokter, ambisinya yang ia paksa wariskan pada Erik yang pada dasarnya lebih menyukai bidang seni atau mengajar anak-anak. Alan jijik mendengar betapa lemah mental putranya itu, betapa Erik jauh tertinggal di belakang Luis. Bahkan kondisinya juga semakin mundur sekarang.
"Tidak bisa seperti itu, kau juga dokter. Kau paham betul ini tidak sesederhana menambah dosis," jelas Heny itu sembari memberikan map berisi diagnosa atas kondisi Erik.
Alan menghela nafasnya, ia jadi terpaksa harus menyembunyikan Erik dan kondisinya sekarang. Sementara Heny yang menangani Erik masuk untuk berbincang dengannya. Alan juga langsung pergi setelah sempat saling tatap sejenak dengan Erik, ia perlu mencari pemecahan masalah atas kondisinya kali ini dengan segala cara.
"Ini..." Heny memberikan sebuah buku jurnal harian, juga setumpuk kertas dan amplop surat beraroma lavender. "Aku tidak tau kapan kau bisa bercerita, aku tidak akan menganggap ini sebagai afirmasi negativ. Ini cara kita menguraikan masalahmu, tulis segala hal yang membuatmu marah dan kecewa, traumamu, semua. Kita harus menguraikannya satu persatu," jelas Heny menjelaskan maksud dan tujuannya.
"Black letter method, hah?" saut Erik lalu tersenyum sinis.
Heny mengangguk dengan tenang.
"Aku tidak ingin menyalahkan siapapun, aku yang salah..."
"Kau baru mulai menyalahkan seseorang kalau begitu."
Erik mengerutkan keningnya kaget.
"Erik. Kau baru saja menyalahkan dirimu sendiri. Aku tidak paham apa yang membuatmu sekacau ini secara spesifik. Jika hanya karena mal praktikmu, kurasa ini bukan kali pertamamu gagal dan yah...semua orang tau bagaimana power ayahmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
POISON
RomanceLuis (35) seorang mantan dokter bedah yang mengalami depresi sertra tauma pasca kegagalan oprasi yang ia kerjakan, jatuh dalam keterpurukan di bangsal rumah sakit jiwa. Ketakutannya untuk menghadapi kenyataan di tambah dengan segala makian yang teru...