1. Wishpers of Destiny

33 0 0
                                    

"Sial."

Sejak pukul tiga pagi, Alara sudah merasa kesal luar biasa. Gadis dengan pita merah putih di kepalanya itu terus mengumpat dalam hati. Sudah hampir setengah jam ia mencari barang yang sangat penting-barang yang menentukan hidupnya hari ini. Namun, hasilnya tetap nihil. Seolah barang itu lenyap begitu saja, entah di mana ia meletakkannya semalam. Perasaan frustasi mulai merayap. Setelah berputar-putar di kamarnya tanpa hasil, ia memutuskan untuk duduk sejenak di tepi kasur, mencoba menenangkan pikirannya yang semakin kacau.

Matanya menyapu sekeliling kamar, mengamati setiap sudut dengan penuh harap. Tapi tetap saja, tak ada petunjuk yang terlihat. Hingga akhirnya, sebuah kilatan ingatan muncul di kepalanya. Gotcha! Barang yang ia cari mungkin tertinggal di dalam mobil. Ia ingat, semalam ia sibuk mengeluarkan barang belanjaannya, mungkin di situlah barang itu tertinggal. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Alara segera meraih ranselnya, mengisinya dengan barang-barang lain yang perlu dibawa, dan bergegas menuju pintu kamar.

Langkah kakinya terasa berat, bukan hanya karena lelah mencari sejak dini hari, tapi juga karena perasaan cemas yang tiba-tiba menyergap. Apakah ini pertanda buruk? pikirnya sambil menuruni anak tangga dengan hati-hati. Pandangannya melirik ke segala arah, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang bangun sepagi ini. Jam masih menunjukkan pukul lima pagi, tidak mungkin ada yang sudah duduk di meja makan. Itu cukup menenangkan pikirannya, tapi tetap saja ia melangkah dengan hati-hati.

Setibanya di lantai dasar, ia merasa lega karena rumah itu masih sunyi, seperti yang ia harapkan. Tidak ada suara langkah kaki atau tanda-tanda orang lain yang bangun. Bagus, berarti gue bisa keluar tanpa harus berurusan dengan siapa-siapa, batinnya. Namun, saat ia hendak melangkah menuju pintu utama, suara dari dapur memecah keheningan pagi itu.

"Lo mau berangkat sekarang?" suara itu datang dari seorang remaja lelaki yang sedang membawa semangkuk besar makanan berkuah. Alara terkejut mendengar suara itu, detak jantungnya terasa lebih cepat. Siapa yang sudah bangun sepagi ini? Dari dapur pula? Alara mencoba mengabaikannya dan mempercepat langkahnya menuju pintu, tak peduli apa isi mangkuk yang dibawa remaja itu-sop, lodeh, atau apapun itu.

"Lo nggak sarapan?" tanya remaja tersebut lagi dengan nada setengah berteriak, suaranya kali ini lebih keras. "ALARA?!"

Teriakan itu menggema di telinganya, membuat Alara menghentikan langkah dengan jantung berdebar. Matanya terpejam sesaat, berusaha menenangkan dirinya. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbalik dengan ragu. Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak mendengarnya.

"Sorry," ujar remaja itu dengan nada yang terdengar menyesal sambil mendekati Alara, langkahnya sedikit terburu-buru. "Name tag lo ketinggalan."

Alara menatap name tag yang disodorkan kepadanya. Barang itu, barang yang ia cari-cari selama dua jam terakhir, kini ada di tangan remaja tersebut. Ia mengambilnya dengan wajah yang tak bisa disembunyikan lagi rasa malunya.

"Thanks," ucap Alara singkat, hampir tanpa ekspresi. "Gue nggak biasa sarapan, gue duluan," lanjutnya, berharap bisa segera keluar dari situasi yang membuatnya tak nyaman itu. Ia kembali melangkah cepat menuju pintu utama, meninggalkan remaja yang masih berdiri di tempatnya, memandang punggungnya dengan tatapan penuh kekecewaan.

Remaja lelaki itu hanya bisa menghela napas berat, memaksakan senyum tipis yang penuh dengan perasaan tak terucap. Ia melepas celemek yang dipakainya, kemudian menatap semangkuk sop buatannya yang kini tergeletak di meja makan tanpa ada yang menyentuhnya. Sia-sia, pikirnya. Gue udah bangun sepagi ini cuma buat masakin dia, tapi... ya sudahlah.

Di luar, Alara sudah sampai di halaman depan rumah. Ia menolak tawaran Arman, sopir pribadinya yang baru diangkat kemarin, untuk menyiapkan mobil dan mengantarnya. Alara lebih memilih naik bus. Namun, Arman tidak membiarkannya pergi begitu saja. Meski Alara menolak, Arman tetap setuju untuk mengikuti bus di belakang, seakan tugasnya sebagai sopir pribadi belum lengkap tanpa memastikan tuannya aman.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang