5. Luminous Paths

18 2 0
                                    

Suasana rumah sakit terasa sunyi, hanya terdengar suara detak mesin monitor dan langkah-langkah perawat yang sesekali melintas di koridor. Lampu-lampu di langit-langit memancarkan cahaya dingin yang menyelimuti ruangan dengan nuansa steril, namun terasa begitu asing dan sepi. Bau antiseptik yang tajam memenuhi udara, menciptakan suasana yang berat dan menekan.

Alara duduk di sebelah tempat tidur Althan, tubuhnya terasa kaku dan lelah. Matanya memerah, basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa ia sadari. Dia menangis, meskipun tanpa suara—hanya isakan pelan yang tercekik di tenggorokannya, tak berani lepas sepenuhnya. Jari-jarinya mencengkeram kuat tepi kursi yang ia duduki.

Wajahnya pucat di bawah cahaya putih. Tubuhnya terselimuti selimut rumah sakit, dengan selang infus yang terpasang di tangannya. Detak jantungnya terdengar stabil di monitor, tapi rasa cemas di dada Alara tak kunjung mereda. Napasnya terasa sesak, melihat kakaknya yang selalu tampak kuat, kini begitu tak berdaya di hadapannya.

Alara menyeka air mata yang menggenang di pipinya, namun begitu cepat air mata baru kembali mengalir. Ia menunduk, bahunya gemetar kecil, berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis keras. Di luar jendela, malam sudah larut, namun baginya waktu seolah tak bergerak sama sekali. Semua rasa takut, penyesalan, dan kecemasan bercampur jadi satu, menghantui pikirannya.

Ia tidak tahu kenapa ia merasa secemas ini dengan keadaan orang yang sangat dibencinya. Melihat Althan terluka seperti kemarin membuat seakan akan sebagian dari dirinya hancur. Ia terus menunduk, memanjatkan doa agar Althan segera bangun, sudah lima jam ia--

"Ra?,"

Panggilan itu membuat Alara mendongak mendapati Althan berusaha membuka matanya. Ia belum sadar sepenuhnya, segera Alara memencet Alarm untuk memanggil dokter. Melihat ada dokter yang masuk ke ruangan, Arman yang sedari tadi berjaga di luar ikut masuk ke dalam. Dokter melakukan beberapa pemeriksaan dan menjelaskan beberapa hal termasuk kepala Althan yang di hantam botol minuman keras itu, tapi beruntungnya semua baik baik saja.

"Nona, kalau nona ingin masuk sekolah besok, saya bisa bawakan seragamnya dan meminta Bi Arsih untuk menemani Tuan Althan,"

"Saya minta tolong dibuatkan surat izin ke sekolah pak," Jawab Alara tanpa berpikir panjang.

Arman lantas mengangguk, paham dengan perintah Alara  dan bergegas keluar dari sana memberikan Alara dan Althan ruang untuk bicara. Melihat Althan yang masih berusaha sadar sepenuhnya sembari memanggil nama Alara berulang kali, Alara duduk di kursi. Nalurinya memintanya untuk meraih tangan Althan. Digenggamnya tangan lemas itu.

"Kenapa lo ga pernah bilang sama gue? Kenapa lo ga pernah kabur dari rumah? Kenapa lo lebih milih tinggal dirumah itu padahal lo selalu berakhir kaya gini?," Tanya Alara dengan suara tercekat dan kembali menangis mengingat kejadian semalam.

Matanya sudah sangat sembab, jam dinding rumah sakit masih menunjukkan pukul dua pagi. Masih banyak waktu untuk menemui pagi, Mata Alara yang mulai berat pun tidak bisa ia kendalikan lagi, ia meletakan kepalanya di sisi kasur dan tertidur begitu saja begitu ia memejamkan matanya tanpa melepaskan genggaman tangannya pada tangan Althan yang masih memar itu.

***

Jeremy mondar-mandir di depan pintu kelas Alara, langkah-langkahnya cepat dan gelisah. Berkali-kali dia melirik ke dalam kelas melalui celah pintu, berharap melihat Alara keluar saat jam istirahat. Namun, bel berbunyi dan siswa-siswa mulai berhamburan keluar, satu demi satu—tapi tidak ada tanda-tanda Alara. Jeremy menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam rasa frustasinya yang semakin memuncak.

Untuk kesekian kalinya, Jeremy menyusuri koridor di depan kelas, matanya mencari sosok gadis itu. "Mana sih dia?" gumamnya pelan, merasa tak sabar. Biasanya, Alara selalu ada di kelas saat jam istirahat, meskipun dia jarang bergabung dengan keramaian. Tapi hari ini, sepertinya suasana berbeda.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang