8. Fated Encounters

11 2 0
                                    

Alara turun dari kamarnya dengan langkah berat, seolah-olah setiap langkah menarik semua tenaga yang tersisa dari tubuhnya. Sudah tiga hari sejak pertengkarannya dengan Jeremy, dan selama itu juga, perasaannya tak kunjung membaik. Rasa lelah dan lesu yang tak hanya fisik tapi juga emosional melingkupinya. Bahkan malam yang tenang tak mampu mengangkat suasana hatinya.

Sesampainya di dapur, Alara melihat Althan sedang duduk di meja, sibuk mengupas buah mangga. Ya, meski dibilang ia masih membenci Althan sedikit saja, ia mulai terbiasa dengan keberadaan Althan yang mulai mengisi hari harinya di rumah. Ia duduk dengan tenang, meski mata tajamnya diam-diam memperhatikan Alara yang terlihat jelas tenggelam dalam dunia pikirannya sendiri. Meskipun sikapnya terkesan dingin dan acuh, Althan tetap memperhatikan segala gerak-gerik gadis itu, memerhatikan bagaimana pundaknya menurun dan langkahnya tak bersemangat.

Alara berjalan menuju kulkas, membuka pintunya tanpa banyak suara, mencoba mengalihkan pikiran dari apa yang mengganggunya selama tiga hari terakhir. Tapi Althan tak mengalihkan tatapannya. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya membuka suara, meski nadanya tetap datar dan tanpa emosi.

"Lo kenapa?" tanyanya sambil tetap melanjutkan mengupas mangga, seolah pertanyaannya hanya bagian dari rutinitas. Namun, perhatian halus yang terkandung dalam kata-kata itu tak bisa disembunyikan sepenuhnya.

Alara berhenti sejenak, tangannya masih di pintu kulkas, tapi tak segera menjawab. Napasnya terasa berat saat mengingat kembali pertengkarannya dengan Jeremy, dan bagaimana itu membayangi seluruh hidupnya dalam tiga hari terakhir. Tapi dia tak ingin langsung membuka diri, terutama pada Althan, selalu sulit ditebak dan bersikap dingin.

"Enggak apa-apa," jawab Alara pelan, meski jelas tak meyakinkan. Dia tahu Althan bisa melihatnya, tapi mungkin berharap Althan tak akan terlalu banyak bertanya.

Althan mengangkat alis sedikit, lalu berhenti mengupas mangga. "Tiga hari lo kayak gini, diem terus," ucapnya tanpa mengubah ekspresi, tapi ada sedikit ketajaman dalam nada suaranya. "Kalo gak ada apa-apa, lo gak bakal gini."

Alara menghela napas panjang, menutup pintu kulkas dan duduk di kursi dapur, merasa tak mampu lagi menyembunyikan apa yang ia rasakan. Dia belum siap bercerita, tapi ketenangan Althan—meskipun dengan sikap dinginnya—membuatnya merasa setidaknya seseorang memperhatikan.

Alara menatap Althan, mengingat kembali momen ketika Althan pertama kali memperingatkannya tentang Jeremy. Saat itu, dia mengabaikannya, merasa yakin bahwa Jeremy tak mungkin seburuk yang dikatakan Althan. Tapi sekarang, setelah semua yang terjadi, pertanyaan itu kembali menghantuinya. Alara butuh jawaban.

"Kenapa lo waktu itu bilang Jeremy gak sebaik yang gue lihat?" tanyanya tiba-tiba, nada suaranya datar tapi penuh rasa ingin tahu.

Althan yang sedang mengunyah potongan mangga terdiam sejenak. Dia tak terlihat kaget dengan pertanyaan itu, mungkin karena sudah menduga ini akan muncul cepat atau lambat. Perlahan, dia meraih garpu di depannya, menusukkan ke potongan buah berikutnya dengan tenang, sambil tetap mempertahankan ekspresi datarnya. Dia sudah bisa menebak ada sesuatu yang terjadi antara Alara dan Jeremy.

"Udah jelas kan?" Althan mulai berbicara, suaranya tetap tenang dan penuh kepastian. "Lo sendiri yang bilang dia suka godain cewek."

Alara mengerutkan kening, menatap Althan lebih lama. Memang, Jeremy punya reputasi sering menggoda, tapi Alara ingin percaya bahwa ada sisi lain dari Jeremy yang lebih baik, lebih tulus. Meskipun begitu, sekarang semua tampak semakin rumit. Rasa bingungnya belum hilang, bahkan justru semakin dalam.

"Dia mulai ngindarin gue. Gue nyariin dia waktu itu ke rooftop, malah kayak marah gitu sama gue. Gue gak ngerti kenapa," ungkap Alara, suaranya melemah saat ia berbicara. Jeremy yang biasanya dekat dengannya tiba-tiba menjauh tanpa alasan yang jelas, dan itu membuat hatinya tak tenang.

Threads of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang