"Kayanya lo ga inget gue ya, Al?,"
Pertanyaan macam apa itu? Alara menatap bingung kakak panitia yang saat ini tengah memapahnya menuju UKS. Bagaimana ia bisa mengingat orang yang belum pernah bertemu dengannya? Kota kelahiran yang begitu asing baginya ini, bagaimana bisa ia mengenal seorang pun disini?
Ia memilih untuk diam, mengabaikan pertanyaan itu hingga keduanya tiba di unit kesehatan sekolah. Sepi, tidak ada siapapun disana. Mungkin karena kegiatan MOS di sekolah ini cukup santai, karena itu tidak ada yang tumbang dengan alasan kelelahan atau bahkan sakit.
"Tunggu disini ya, gue ambilin obat," Beritahunya setelah mendudukan Alara di kasur terdekat. "Civitas akademik dan semua staff sekolah termasuk dokter libur tiga hari kedepan karena masih kegiatan MOS, tapi gue pernah jadi anggota PMR kok. Gue dulu yang pegang UKS bantuin bu Hana, jadi gue lumayan ga asing sama beberapa obat2an disini,"
Alara hanya bisa menatapnya bingung, mungkin ia berhasil menafsirkan ekspresi Alara yang terlihat bertanya tanya karena anak sekolah yang dengan percaya diri hendak mengambilkan obat untuknya. Tak lama, kakak panitia yang sedari tadi membantunya itu kembali menghampiri Alara dengan membawa air putih dan satu tablet obat.
Menunggu Alara menyelesaikan acara minum obatnya, ia menarik kursi besi dan duduk di hadapan Alara yang di kasur dengan kaki menggantung.
"Kakak ga balik?," Tanya Alara menyadari kakak panitianya itu sedari tadi tidak beranjak dari tempat, malah memandanginya dengan tenang.
"Gue bukan panitia, jadi gaada gunanya disana,"
Kali ini, Alara menelan ludahnya sendiri. Obat barusan sudah masuk, berbaur menjadi satu bersama sisa makan siangnya, lalu orang di hadapannya ini baru mengatakan kalau dia bukan panitia MOS? dengan santainya? Lalu apa ia bisa memercayai obat yang masuk tanpa pihak yang bertanggung jawab?
"Kenapa kakak pake atribut panitia kalo gitu?," Tanya Alara mulai menatap tajam, was was karena UKS juga sedang sepi.
"Keburu dicetak, jadi gue pake, sayang kalau ga dipake." Jawabnya santai sembari menyentuh lencana di dada kirinya. "Oh iya, lo udah mendingan?,"
"Terus kenapa kakak yang nyariin gue? Bukan tugas kakak, kan? Kenapa kakak hadir? Bukannya selain panitia dan---,"
"Alara gue ga mau ngapa ngapain, gue cuma khawatir lo kenapa napa," Ia memotong kalimat Alara yang terlalu menggebu gebu, kecemasan itu masih ada.
"Kita ga kenal, kak,"
"Nama gue Jeremy Nathaniel," Ujarnya tiba tiba mengulurkan tangan kepada Alara yang ragu ragu menerima uluran tangannya. "Udah kenal kan sekarang?,"
Alara semakin bingung dengan situasi yang sedang dihadapinya. Ternyata dia 'kak Jer' yang disebut Hera tadi pagi. Sejak awal, ia tidak pernah mengira bahwa seseorang yang mengaku bukan panitia MOS bisa begitu peduli padanya. Namanya, Jeremy Nathaniel, mengalun lembut di benaknya, seolah memberikan makna baru pada pertemuan mereka yang tiba-tiba ini. Rasa was-was yang menggelayuti pikirannya seakan bertabrakan dengan rasa ingin tahunya; siapa sebenarnya Jeremy ini? Apakah ia benar-benar hanya khawatir tanpa pamrih, atau ada maksud lain di balik perhatian yang ditunjukkannya? Alara merasakan kebingungan dan ketidakpastian melingkupi dirinya, seakan dirinya terseret ke dalam misteri yang lebih dalam dari yang bisa ia tangkap.
"Lo kenapa di koridor sendirian? Kakak pembimbing lo panik lo ilang,"
"Kalau kakak bukan panitia, bukan keharusan buat gue ngasih tahu alasannya,"
Mendengar jawaban ketus Alara, Jeremy terkekeh ringan mengingat kejadian tadi pagi.
"Gue hampir ngira gue salah orang, ternyata lo emang Alara yang bentak gue tadi pagi ya?,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Threads of Fate
Hayran KurguBagaimana jika rahasia keluarga kaya dan penuh kuasa tak lagi hanya menjadi cerita fiksi, tetapi menyelimuti kenyataan hidup mereka? Di tengah kehidupan keluarga kaya yang penuh intrik, seorang gadis tumbuh menyimpan rasa ragu pada mereka yang sehar...