Karlina Patricia ~ Lensa yang Berbicara

5 3 0
                                    

Bab 1: Mata Kedua yang Mengabdikan Momen

Cahaya pagi yang lembut merembes melalui jendela studio Karlina Patricia, memantulkan kehangatan samar di dinding-dinding yang penuh dengan foto-foto hitam-putih. Dia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak, meresapi keheningan yang langka. Di luar, suara kendaraan mulai terdengar pelan-tanda bahwa dunia sudah bergerak. Tapi di dalam sini, hanya ada dia, kameranya, dan segala yang belum terungkap melalui lensa.

Karlina selalu merasa ada sesuatu yang magis pada pagi hari. Di jam-jam ini, dunia terasa lebih sederhana, lebih jujur, sebelum hiruk pikuk kota mengaburkan setiap detail kecil yang sering kali luput dari pandangan. Dia memandang kameranya, benda yang telah menemaninya sejak masa kuliah-Nikon D850, dengan lensa yang sudah penuh dengan sidik jarinya.

KLIK.

Tombol shutter ditekan, meskipun kali ini hanya untuk menguji pencahayaan. Hanya itu. Karlina tertawa kecil pada dirinya sendiri, sebuah kebiasaan yang dia lakukan hampir setiap pagi, seperti orang lain menyeruput kopi pertama mereka. Dia menarik tripod ke dekat jendela, bersiap-siap untuk mengambil foto pertama hari itu-jepretan yang biasanya tidak ada maknanya, tapi memberi sensasi hangat di dadanya.

"Fotografi bukan hanya soal menangkap momen indah," kata mentornya dulu, seorang fotografer peraih Pulitzer yang selalu berbicara dalam nada serius. "Ini tentang memahami dunia. Setiap gambar adalah cerita."

Kalimat itu selalu terngiang dalam pikirannya setiap kali dia mengangkat kameranya, entah di jalanan, di tengah keramaian, atau bahkan di studio yang sunyi. Fotografi adalah bahasa bagi Karlina-sebuah cara untuk berbicara tanpa harus membuka mulut.

Karlina berbalik, memandangi deretan hasil karyanya di dinding. Setiap foto memiliki ceritanya sendiri: potret wajah-wajah asing di kereta bawah tanah, bayangan gedung-gedung tua yang memudar di bawah hujan, hingga foto-foto candid orang-orang yang tak sadar bahwa kehidupan mereka sedang diabadikan dalam sekejap lensa.

Namun, meski ratusan foto itu terpajang di sekelilingnya, ada satu yang selalu mengundang perhatiannya: sebuah foto hitam-putih dari seorang anak kecil yang menatap lurus ke arah kamera dengan tatapan tajam, seolah mampu menembus jiwanya. Foto itu diambil dua tahun lalu, saat Karlina melakukan perjalanan ke sebuah desa terpencil di utara, tempat orang-orang hidup sederhana namun penuh dengan cerita. Anak itu, dengan mata yang besar dan penuh rasa ingin tahu, berdiri di depan pintu rumahnya yang rapuh.

Karlina tak bisa melupakan perasaan yang muncul ketika ia mengambil gambar itu-sebuah momen singkat, tapi penuh makna. Dalam satu jepretan, dia merasakan dunia anak itu, penuh misteri dan kesunyian yang entah bagaimana terasa begitu akrab. Dia merasakan sesuatu yang sering kali sukar dijelaskan dengan kata-kata-sebuah keheningan yang berbicara lebih keras dari suara apa pun.

Ponsel di atas mejanya berdering pelan, mengusik pikirannya yang melayang ke masa lalu. Karlina menatap layarnya dan melihat nama yang sudah dikenalnya baik: Alinea Studio, tempat di mana dia bekerja secara freelance sebagai fotografer. Dia menghela napas dalam, sebelum menekan tombol angkat.

"Halo, Kar?" Suara tenang sang editor menyapa dari seberang telepon.

"Hai, aku di studio sekarang," jawab Karlina sambil berdiri dan berjalan ke arah rak di sudut ruangan yang penuh dengan tumpukan album foto lama. "Ada sesuatu yang mendesak?"

"Sedikit, ya. Ada proyek baru untuk majalah fashion bulan depan. Kamu tahu, semacam editorial mode jalanan. Sesuatu yang lebih raw, lebih jujur. Aku pikir ini cocok buat kamu."

Karlina tersenyum kecil. Fashion bukanlah spesialisasinya, tapi tantangan semacam ini yang membuatnya terus berkembang sebagai fotografer. Mode jalanan bisa berarti apa saja-tergantung bagaimana ia menangkapnya.

Ry's Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang