Arinda Hansa ~ Di Balik Kesempurnaan

18 3 0
                                    

Bab 1: Kamar yang Sunyi

Arinda Hansa, atau yang lebih akrab dipanggil Ary oleh teman-temannya dimasa lalu, duduk termenung di kursi belajarnya. Kamar yang luas namun penuh dengan kesunyian itu memantulkan bayangan dirinya, seolah dinding-dindingnya pun turut menghakiminya. Semua hal di ruang itu terasa sempurna, tertata rapi, tanpa cela-mirip seperti hidup yang dirancang untuknya oleh ibunya, Nadira Hansa. Di atas meja belajarnya, lampu baca menyala terang, menyinari setumpuk buku pelajaran dan jurnal yang tebal. Tapi Ary tidak tertarik pada buku-buku itu kali ini. Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan halaman yang masih kosong.

Tangannya memegang pena, tetapi jari-jarinya tidak bergerak menulis. Dia sejenak memandang bayangannya sendiri di cermin yang berada di seberang tempat tidur. Wajahnya tampak kelelahan, meski jam belum menunjukkan larut malam. Rambut hitam panjangnya yang biasanya selalu tertata rapi kini dibiarkan terurai bebas, kontras dengan kebiasaan yang selama ini diajarkan padanya: selalu tampil sempurna. Bibirnya sedikit terkatup, menahan sesuatu yang tak pernah diungkapkan, sesuatu yang tak pernah ada dalam rutinitas hidupnya.

"Ary, kamu kan selalu harus yang terbaik. Kamu harus disiplin, seperti yang Mama bilang. Kalau tidak begitu, apa jadinya kamu nanti?"

Kata-kata Nadira bergaung di kepalanya, seperti rekaman yang diputar ulang setiap hari. Ary mendesah, menundukkan kepala. Di atas kertas yang kosong, pikirannya melayang, mengingat kembali bagaimana keluarganya terbentuk, dan bagaimana hidupnya dibentuk di dalam keluarga Hansa. Jari-jarinya mulai bergerak perlahan, menuliskan kalimat-kalimat yang terasa seperti pembebasan sesaat.

"Keluarga Hansa."

"Keluarga yang terlihat sempurna dari luar." Ary berhenti sejenak, tersenyum kecut. "Tapi, siapa yang tahu apa yang terjadi di dalamnya?"

Dia ingat bagaimana ibunya, Nadira Hansa, selalu menuntut kesempurnaan. Nadira adalah seorang wanita yang ambisius, seorang yang tidak pernah puas dengan pencapaian sederhana. Ary tumbuh dengan melihat ibunya selalu sibuk, selalu dengan daftar tugas di tangan, seolah hidup ini adalah kompetisi besar yang harus dimenangkan. Nadira bukan hanya seorang ibu-dia adalah pengatur, pelatih, dan terkadang, tanpa sadar, seorang pengawas ketat dalam kehidupan Ary.

"Mama bilang, hidup ini harus direncanakan dengan matang, Ary. Setiap langkah harus diperhitungkan, karena jika kamu lengah, kamu akan tertinggal."

Begitulah Nadira. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada ruang untuk kegagalan. Bahkan sejak Ary kecil, Nadira telah mengatur semuanya. Pagi hari dimulai dengan latihan musik, dilanjutkan dengan sekolah, lalu pelajaran tambahan, dan malam dihabiskan dengan les privat. Semuanya diukur, disusun rapi seperti blok-blok puzzle yang tidak boleh bergeser sedikit pun. Dalam hidup Nadira, kesempurnaan adalah segalanya.

Ary berhenti menulis, menatap keluar jendela di sampingnya. Langit malam yang gelap terlihat melalui celah tirai. Angin malam meniup lembut, tetapi keheningan dalam kamarnya seakan memadamkan suara alam di luar sana. Sekali lagi, pikirannya melayang pada sosok ibunya. Nadira, wanita yang cantik, berwibawa, selalu tampil anggun di depan semua orang, tapi di balik semua itu, ada kekerasan hati yang tidak bisa Ary mengerti.

"Bagaimana kalau aku tidak ingin sempurna, Ma?"

Tentu saja, itu bukan sesuatu yang bisa ia katakan. Bahkan membayangkan ibunya merespons pertanyaan itu sudah membuat Ary merasa tertekan. Nadira pasti akan memandangnya dengan mata tajam, alis sedikit terangkat, seolah menyiratkan bahwa pertanyaan itu tidak masuk akal. Tidak ada tempat untuk ketidaksempurnaan dalam hidup Nadira. Setiap orang harus mencapai puncak, dan begitu pula anaknya.

Pena Ary kembali bergerak.

"Lalu ada Papa..."

Sosok Elian Hansa melintas dalam benaknya. Ayahnya, pria yang pendiam, sedikit berbeda dari Nadira. Jika ibunya adalah kekuatan pendorong yang selalu bergerak maju, ayahnya lebih seperti bayangan yang tenang, selalu berada di sisi namun jarang terlihat menonjol. Elian tidak pernah banyak bicara. Dia lebih memilih mendengarkan atau tenggelam dalam pekerjaannya sebagai arsitek, menghabiskan waktu di proyek yang dia kerjakan daripada di rumah. Ary tidak pernah benar-benar mengerti apa yang ayahnya pikirkan, karena mereka jarang berbicara tentang sesuatu yang berarti.

Ry's Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang