Fyllia Reclair ~ Mencari Diri di Ambang Kehidupan

8 3 0
                                    

Bab 1: Senja dan Percakapan di Tepi Waktu

Suara gesekan kaca pintu kafe terdengar ringan, bergabung dengan gemericik hujan yang baru saja turun. Fyllia Reclair memasuki ruangan dengan jaket tipisnya yang sedikit basah, sambil mengembuskan napas pelan. Hujan di luar membuat sore itu lebih sendu, tapi juga menghadirkan ketenangan.

Ia memilih tempat di dekat jendela, seperti biasa. Tumpukan buku dan laptopnya diletakkan di meja, tak tersentuh sejak beberapa menit lalu. Sebagai mahasiswa semester akhir, akhir-akhir ini pikirannya terasa dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang ia tak pernah tahu kapan jawabannya akan muncul.

Apa setelah ini? Apa yang akan kulakukan? Apa ini semua sudah benar?

Segala hal tentang masa depan terasa mengambang di udara. Fyllia sudah tidak lagi yakin dengan apa yang selama ini ia kejar.

Di tengah lamunannya, suara seseorang memecah keheningan. "Kursi ini kosong, kan?"

Fyllia mendongak. Seorang cowok berusia sekitar dua puluh tahunan berdiri di hadapannya, dengan rambut basah yang sedikit berantakan, menyapu alisnya. Jaket kulit yang dikenakannya terlihat kebasahan karena hujan. Ia membawa secangkir kopi dengan tangan kirinya. Tanpa menunggu jawaban, dia sedikit tersenyum, setengah sopan, setengah cuek.

"Eh, iya. Kosong kok," jawab Fyllia sambil menggeser buku-buku di mejanya, menyadari meja lain sudah terisi.

Cowok itu duduk tanpa banyak basa-basi. Mereka diam cukup lama, hanya ditemani alunan musik yang lembut dan suara tetes hujan dari luar. Fyllia mencoba kembali fokus pada layar laptopnya, namun entah kenapa kehadiran sosok di depannya sedikit mengganggu konsentrasi.

Lima menit berlalu. Tiba-tiba, pemuda itu memulai percakapan lagi, kali ini dengan sedikit tawa dalam suaranya, "Aku selalu heran, kenapa orang suka datang ke kafe saat hujan? Bukannya enakan di rumah?"

Fyllia menoleh ke arahnya, sedikit terkejut oleh pertanyaan spontan itu. "Mungkin... buat suasananya?" jawabnya agak ragu. "Rasanya lebih... nyaman."

Pemuda itu mengangguk-angguk sambil menyeruput kopinya. "Mungkin ya. Atau mungkin, mereka suka menikmati sendu."

Fyllia tertawa kecil. "Mungkin kamu benar. Hujan memang membawa sendu."

Pemuda itu kembali tersenyum kecil. "Oh, by the way, aku Alden Grimaldi. Biasanya nongkrong di sini, sih, tapi jarang lihat kamu."

"Fyllia Reclair," jawabnya. "Aku ke sini kadang-kadang aja, buat belajar, atau lebih tepatnya... kabur dari tugas."

"Aha! Kabur dari tugas. Jadi mahasiswa, ya?" Alden menatap tumpukan buku dan laptop Fyllia dengan pandangan jahil. "Semester berapa?"

"Udah mau lulus," jawabnya sambil mendesah. "Tapi rasanya malah makin berat. Seolah semua pilihan yang aku buat jadi terasa... salah?"

Alden tertawa ringan. "Aduh, santai. Kamu enggak sendirian kok. Setiap orang di semester akhir pasti ngerasain hal yang sama."

Mereka berbicara seperti itu selama beberapa menit, berbagi keluh kesah yang ternyata tak jauh berbeda. Fyllia menemukan dirinya lebih nyaman berbicara dengan Alden dari yang ia perkirakan, meski mereka baru saja bertemu. Tidak terlalu akrab, tapi juga tidak canggung. Hanya mengalir, seakan mereka sudah lama tahu bahwa topik-topik seperti inilah yang sering menghantui masa-masa seperti ini.

"Aku kadang berpikir," kata Alden sambil mengaduk kopinya, "kita semua terlalu sibuk ngejar sesuatu sampai lupa nikmatin apa yang ada sekarang. Kayak semua harus cepet-cepet diselesaikan. Tugas, lulus, kerja, tapi pas udah di titik itu... eh, ternyata kosong."

Fyllia mengangguk pelan. "Iya, aku juga kadang mikir kayak gitu. Rasanya, pas udah sampai akhir semester, aku malah ngerasa enggak siap."

Alden menatapnya sejenak, serius untuk pertama kalinya sejak mereka mulai bicara. "Menurutku, itu hal yang wajar. Enggak ada yang sepenuhnya siap untuk apa yang akan datang. Tapi, bukannya itu bagian dari petualangan hidup?"

Ry's Story CollectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang