Bab 1: Pertanyaan yang Berulang
“Apa itu emosi?” Pertanyaan ini menggelinding di dalam pikiran Xerosa Lachlan, mengitari kekosongan yang menghimpitnya. Di tengah keramaian jalan, suara tawa, teriakan, dan percakapan menyatu dalam satu simfoni bising yang tidak ia mengerti. Orang-orang berlalu lalang, tampak hidup dalam kebahagiaan yang begitu nyata, tetapi semua itu terasa jauh dan samar baginya. Seperti lukisan berwarna cerah yang tidak dapat ia sentuh, dunia ini adalah tempat yang selalu mengintimidasi dan mengasingkan.
Dia melangkah pelan, menyusuri trotoar yang basah akibat hujan yang baru reda. Dalam blus pastel dan rok midi yang sederhana, ia berusaha tampil anggun. Namun, setiap langkahnya justru mengungkapkan rasa ketidakberdayaan yang semakin mendalam. “Kenapa aku tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain?” pikirnya, merasakannya terkurung dalam kepingan-kepingan kosong yang tidak pernah bisa menyatu.
Sekolahnya menanti di ujung jalan, bangunan megah yang dipenuhi dengan kehidupan. Hari ini adalah hari pertama setelah liburan panjang, tetapi harapan untuk mendapatkan kembali suasana penuh semangat tidak datang. Di dalam kelas, saat teman-teman sekelas mulai berkumpul, Xerosa duduk sendirian di bangku belakang. Mereka bercerita, tertawa, dan saling berbagi, sementara ia hanya bisa mendengarkan. Suara mereka, bagaikan melodi yang indah, tetapi tidak lebih dari sekadar bunyi bising yang tidak berisi.
Dengan tangan bergetar, Xerosa mengeluarkan alat perekam kecil dari dalam tasnya. Menatap alat itu seolah ia sedang berhadapan dengan jendela harapan. Dia menekan tombol rekam dan mulai berbicara. “Hari ini adalah hari pertama aku kembali ke sekolah. Semua orang tampak senang, tetapi… aku merasa seperti pengamat. Seolah aku terkurung di dalam ruang hampa, mendengar tetapi tidak merasakan. Apa itu emosi?”
Dia menggenggam alat perekam itu lebih erat, berharap suara-suara yang terekam bisa membantunya memahami kekosongan yang menyelimutinya. “Aku melihat mereka, tertawa, tetapi aku tidak merasakan kebahagiaan yang seharusnya ada di sana. Kenapa? Kenapa aku tidak merasakan apa yang mereka rasakan?”
Xerosa melanjutkan, “Saat mereka tertawa, aku hanya bisa tersenyum tipis. Tapi senyuman itu terasa kosong. Apa yang salah denganku?” Dalam hatinya, rasa frustrasi semakin menggerogoti. “Seharusnya aku berpartisipasi, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokanku. Mengapa aku tidak bisa meluapkan perasaanku seperti mereka?”
Tatapannya melayang ke jendela, menyaksikan hujan yang jatuh lagi, mengaburkan pandangannya. “Aku harus mencoba lebih keras,” dia berbisik kepada dirinya sendiri. Namun, saat pena menyentuh kertas di mejanya, semua yang muncul hanyalah goresan-goresan kosong. “Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah merekam ini. Mungkin dengan merekam, aku bisa menemukan jawaban.”
Bel berbunyi, menandakan pelajaran selesai, tetapi ia tetap duduk, merasa terasing di antara keramaian. “Mengapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan mereka?” dia bertanya pada dirinya sendiri. Rasa cemas menyelimutinya saat teman-teman sekelas beranjak pergi. “Seharusnya aku merasakan sesuatu. Tetapi tidak ada rasa yang menyertainya. Hanya kekosongan.”
Meninggalkan kelas, dia berjalan ke kantin dengan langkah berat. Semua orang berkumpul dalam kelompok, berbagi makanan dan cerita. “Seharusnya aku bisa bergabung, tetapi perasaanku seperti terkurung dalam dinding yang tak terlihat.” Xerosa menatap meja penuh tawa di depannya, tetapi tidak ada yang bisa menariknya ke sana. “Apakah mereka menyadari betapa sunyinya hatiku?”
Ketika melewati meja-meja tersebut, dia mendengar percakapan tentang rencana liburan dan acara yang akan datang. “Kenapa mereka tidak bisa berhenti merayakan? Mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang merasakan kesedihan yang menghimpitku?” Semua ini adalah keramaian yang tidak pernah bisa ia siapkan.
Di tengah kesunyian yang menyelimuti hatinya, ia kembali ke ruang kelas, tempat ia bisa melindungi dirinya dari dunia luar. Dengan alat perekam di tangannya, ia merekam lagi, “Aku merasa terasing. Semuanya di sini penuh warna, sementara aku seperti bayangan tanpa jiwa. Ketika aku melihat mereka, aku merasa kosong. Semua ini adalah keramaian yang tidak pernah bisa kumengerti.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Ry's Story Collection
Truyện NgắnDalam kekosongan yang menggantung, imajinasi menemukan sayapnya, merajut cerita yang tak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. 🔰 "Hei, kau di sana," suara Sabit tenang, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang memanggil perhatianmu. Di sisinya, Purnama t...