Bab 1: Arah Tak Pasti
Di bawah langit senja yang melumerkan warna oranye dan ungu di cakrawala, Agmund Steffen duduk di atas dinding batu tua yang mengelilingi sebuah ladang gandum yang menguning. Udara sejuk membawa aroma tanah basah dan rerumputan, menari lembut di antara helaian rambut coklat keemasan yang tidak teratur. Dia memandang jauh ke arah kaki langit, tempat matahari mulai meredup, matanya tampak selalu mencari sesuatu yang tidak bisa ia temukan—seperti pertanyaan yang tak pernah selesai terjawab.
Di sampingnya, duduk kakaknya, Mathea Steffen, yang selalu tampak begitu yakin dalam ketidakpastian hidup mereka. Mata Mathea yang tajam dan jernih menatap hening ke arah ladang, seolah dia tahu betul apa yang akan terjadi esok, meski dunia di sekeliling mereka kerap berubah tanpa peringatan. Tangannya, yang lembut namun kuat, menggenggam secangkir teh panas, uapnya menyatu dengan angin sore yang dingin. Senyumnya selalu tampak samar, tenang, namun mengandung perasaan yang dalam, sering kali tak terucapkan. Ia selalu begitu, teguh di antara badai keraguan yang kerap menyeret Agmund.
"Apa kau pernah merasa... seolah ada sesuatu yang seharusnya kau kejar, tapi kau tak tahu apa itu?" Agmund bersuara pelan, suaranya sedikit serak oleh angin. Pertanyaan itu terasa berat baginya, tetapi Mathea hanya menoleh perlahan, bibirnya terangkat sedikit dalam senyum yang hangat namun penuh pemahaman.
"Sering," jawab Mathea, nadanya lembut namun penuh keyakinan. "Tapi hidup tidak selalu tentang tahu apa yang kita inginkan, Ag. Terkadang, kita harus belajar menerima bahwa tidak semua jawabannya ada sekarang."
Agmund mendesah, menggenggam tangannya sendiri dengan kuat, merasakan dingin batu di bawahnya seolah mencoba mencari pegangan pada sesuatu yang nyata. Setiap keputusan yang ia buat selalu mengarah pada jalan yang buntu—semua impian yang ia kejar, entah menjadi seorang musisi, pelukis, atau bahkan petualang, semuanya selalu tampak menjauh di saat ia hampir meraihnya. Dia tahu Mathea selalu ada di sampingnya, memberinya dukungan tanpa syarat, tetapi di sisi lain, itu membuatnya semakin takut untuk mengambil langkah sendiri.
"Aku tidak tahu, Thea. Aku ingin melakukan sesuatu yang besar, membuat hidupku berarti, tapi aku terus merasa tersesat. Setiap kali aku mencoba, aku merasa seperti aku membuat kesalahan." Agmund menggigit bibir bawahnya, kebiasaan yang selalu muncul ketika ia merasa ragu. Dia tak pernah benar-benar yakin dengan pilihannya sendiri.
Mathea menatap adiknya dengan penuh kasih sayang, namun ada kelelahan di matanya—kelelahan yang terakumulasi setelah bertahun-tahun menjadi satu-satunya yang bisa Agmund andalkan. "Ag, hidup tidak harus sempurna atau besar untuk berarti. Setiap langkah yang kau ambil, bahkan jika itu salah, adalah bagian dari perjalananmu. Kau tidak harus selalu tahu arahmu, cukup berjalan." Tangan Mathea menyentuh pundaknya dengan lembut, memberinya kehangatan yang terasa menembus dingin sore itu.
Agmund menunduk, menatap kakinya yang terayun pelan di tepi dinding. Tangannya gemetar sedikit saat ia meraih cincin perak yang melingkari jari manisnya—warisan dari ayah mereka yang meninggal bertahun-tahun lalu. Ada sesuatu yang selalu terasa kosong tanpa kehadiran orang tua mereka, sebuah beban yang tak pernah benar-benar hilang meskipun mereka berdua telah berusaha keras saling menjaga. Agmund tahu Mathea juga merasakan hal itu, meski kakaknya jarang menunjukkan kesedihannya.
"Aku takut, Thea," bisiknya, seolah takut jika angin malam akan membawa kata-katanya pergi terlalu jauh. "Jika aku salah lagi, jika aku terus bergantung padamu... aku takut tidak akan pernah bisa membuat keputusan sendiri."
Mathea menarik napas dalam, menghembuskannya pelan sebelum menatap Agmund dengan tatapan yang penuh dengan kelembutan. "Ag, tidak apa-apa untuk merasa takut. Aku juga takut, terkadang. Tapi kau harus ingat, ini bukan tentang membuat keputusan yang sempurna. Ini tentang menerima bahwa kau bisa belajar dari kesalahan. Dan aku di sini bukan untuk membuatmu tergantung padaku, tapi untuk mendukungmu saat kau memerlukan dorongan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ry's Story Collection
Cerita PendekDalam kekosongan yang menggantung, imajinasi menemukan sayapnya, merajut cerita yang tak hanya dibaca, tetapi juga dirasakan. 🔰 "Hei, kau di sana," suara Sabit tenang, tapi ada sesuatu dalam nadanya yang memanggil perhatianmu. Di sisinya, Purnama t...