8 (flashback)

0 0 0
                                    

Begitu suara bayi terdengar, Alva sangatlah penasaran dengan bayi yang baru saja Hanin lahirkan. Setelah istrinya dapat menutup mata sejenak, Alva mengecup pipi sang istri sebelum menjenguk anaknya yang kini tengah di mandikan oleh para perawat.

"Selamat ya, Pak. Anaknya perempuan. Dia cantik sekali. Saya sangat gemas melihat anak bapak."

Dokter yang membantu proses lahiran itu datang dan memberitahukan jenis kelamin anak pertama Alva. Awalnya, ia cukup terkejut mendengar anak pertamanya adalah perempuan. Ia sudah banyak membayangkan bagaimana masa depan anaknya jika terlahir sebagai anak pertama Alva.

Melihat Hanin yang masih tertidur lelah dengan keringat yang masih membasahi tubuhnya, Alva tak berani mengucapkan beberapa kata untuk istri tercinta. Ia hanya dapat mengucapkan terima kasih sudah melahirkan anak yang sangat cantik. Lalu, Alva pun pergi menjenguk sang anak untuk mengazankannya.

"La ila ha illallah."

Seusai mengazankan, Alva tak sanggup untuk mengecup anak itu. Ia hanya menangis menatapi anaknya.

Apa yang di katakan dokter itu memang benar. Anaknya begitu cantik dan kulitnya seputih beras. Terlihat beberapa bercak merah di tubuhnya yang terlihat seperti bayi orang cina.

Pantas saja jika dokter itu sangat gemas dengan anaknya. Layaknya seorang bidadari, mungkin Alva bisa mengartikan anaknya sebagai seorang putri atau memang tetap bidadarinya.

Dua hari ke depannya, sudah banyak saudara yang menjenguk anak pertama Alva ke rumah sakit. Dan mereka semua sangat gemas karena bayi itu benar-benar cantik di mata mereka. Semuanya sangat suka dengan kecantikan yang bayi itu miliki.

Sebelumnya, saat Hanin tengah mencoba menggendong anak gadis kecilnya, Alva menjelaskan sesuatu hal pada sang istri.

"Hanin." Panggil Alva.

"Kenapa sayang?" Jawab Hanin.

Tatapan Alva terlihat gelisah. Ia benar-benar tidak sanggup jika mengatakannya sekarang, namun jika tidak di katakan, maka esok bisa saja hal buruk akan datang di hidupnya.

"Sebenarnya, aku gak bisa pegang anak kita tiap hari." Rasa gugup Alva menghantuinya. Bagaimana tidak, sepertinya kata-kata itu hanya akan menyakitkan hati Hanin.

"Kenapa? Ini anak pertama kita."

Pertanyaan Hanin hanya membuatnya tambah gugup. Perlahan, Alva pun menjelaskan semua keinginannya.

"Aku gak bisa bikin kamu kecewa. Tapi Hanin, kamu harus tau. Anak pertama kita perempuan. Gak wajar kalo seorang Ayah selalu dekat sama dia. Aku bukan Ayah yang pantas untuk selalu ada buat dia. Jadi, sebelum hari-hari buruk semakin terjadi ke depannya, aku lebih dulu kasih tau kamu."

Hanin hanya diam menatapi anaknya yang berada dalam rangkulannya. Ia bisa meraskan bagaimana rasanya menjadi sosok kakak yang tidak pernah di sentuh oleh seorang Ayah. Mungkin, Alva juga tidak pernah mau untuk memandikan putrinya.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Alva pergi dari kamarnya. Tatapan Hanin tak hilang dari punggung milik Alva yang kini sudah menutup pintu. Air matanya jatuh saat Alva berani pergi meninggalkan Hanin dan putri pertamanya di dalam ruang inap.

"Kamu kalo udah besar jangan jahat sama Ayah ya, nak. Ayah bukan jahat sama kamu, tapi dia sensitif sama perempuan. Percaya sama Bunda, kalo Ayah sayang sama kamu. Tapi, dia cuma gak berani bilang."

Nesya hanya diam menatapi sang Ibunda menangis dan meneteskan air matanya di samping wajahnya. Wajar saja jika bayi itu hanya diam dan menggerakkan kepalanya lantaran tak paham apa yang orang ucapkan padanya. Karena ia baru saja terlahir ke dunia dan sudah ada orang yang tega menyakiti hatinya. Dan, orang itu adalah Ayahnya sendiri.

friend to loverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang