S e l f : 8 (T h e y)

384 35 17
                                    


“Ayahmu mengamuk lagi?”

“Ibumu memukulmu lagi?”

Di sebuah taman kecil yang tersembunyi di balik pepohonan rimbun, seorang anak laki-laki dan perempuan sering bertemu, meski mereka tak pernah merencanakannya. Setiap kali rumah mereka terasa berguncang oleh suara pertengkaran orang tua, kaki-kaki kecil mereka, seakan digerakkan oleh naluri, membawa mereka ke tempat yang sama—taman itu. Tempat di mana dunia terasa sedikit lebih damai, meskipun hanya untuk sesaat.

Anak laki-laki itu sering kali penuh lebam dan luka di tubuhnya, bahkan terkadang bekas puntungan rokok di pipi atau lengannya, dia tinggal di apartemen hanya bersama ibunya yang tempramental dan ringan tangan, karena itu yang membuat bocah kecil itu melarikan diri  diri apartemen, biasanya tiba lebih dulu. Dia duduk di ayunan tua yang berderit pelan setiap kali disentuh oleh angin. Mata sapphirenya sering menatap kosong ke tanah, menggambar pola-pola tak beraturan dengan ujung sepatunya di atas tanah berpasir. Dia jarang menangis, meski di hatinya ada rasa yang tak pernah bisa dia ungkapkan.

Tak lama, anak perempuan itu akan muncul. Rambut merah jambunya kusut oleh angin, dan matanya sedikit merah karena air mata yang baru saja ia hapus. Ayahnya adalah seorang alkoholik, dan suka berjudi. Dia suka memukul dirinya dan ibunya. Tanpa berkata apa-apa, dia akan duduk di ayunan sebelahnya, mengayun pelan, membiarkan keheningan di antara mereka berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang mungkin bisa mereka ucapkan.

Di taman itu, suara orang tua mereka yang berteriak tak lagi terdengar. Hanya ada bunyi daun yang bergesekan oleh angin dan sesekali kicauan burung yang tersesat di antara dahan. Di tempat ini, mereka merasa aman, meski mereka tahu bahwa ini bukanlah pelarian yang akan bertahan lama.

Seringkali, mereka saling melirik sekilas, seolah memastikan bahwa mereka tidak sendirian dalam kesunyian itu. Tak ada yang perlu dikatakan. Mereka sudah saling memahami melalui tatapan singkat, gerakan kecil, dan kebersamaan yang diam-diam. Rasa sakit mereka berbeda, tapi juga serupa, dan di dalam taman itu, mereka menemukan penghiburan yang tak bisa diberikan oleh dunia luar.

Saat matahari mulai terbenam, langit berubah warna menjadi jingga yang samar, dan bayangan pepohonan memanjang di atas rumput. Mereka tahu bahwa sebentar lagi, mereka harus kembali—ke rumah yang penuh dengan amarah, ke suara pintu yang dibanting, ke tangisan yang mereka coba sembunyikan. Tapi sebelum itu, di dalam taman ini, mereka bisa merasakan sedikit ketenangan.

Ketika malam mulai menyelimuti taman, anak laki-laki itu akan berdiri lebih dulu, melemparkan tatapan terakhir ke arah anak perempuan itu, seolah berjanji tanpa kata bahwa mereka akan bertemu lagi di sini, di bawah langit yang sama, di tengah segala kekacauan yang belum selesai. Dan dengan langkah perlahan, mereka akan berjalan kembali, menyusuri jalan yang sama, menuju rumah yang tetap tak berubah, namun mereka telah menemukan tempat yang bisa mereka sebut pelarian—walau hanya untuk sejenak.

“Sakura-chan, mau kah kau berjanji padaku?”

“apa?”

“kita harus selalu bersama, apapun keadaannya”

“tentu”

Anak lelaki itu tersenyum manis “bahkan jika suatu saat kau ingin mati, ayo mati bersamaku.”

***

Sakura terbangun di pagi itu dengan perasaan kacau. Mimpi yang bertahun-tahun lalu seolah terulang kembali ke dalam pikirannya.

Kemudian dia mencium aroma masakan yang tercium sedap, tak lama kemudian seorang pria baru saja datang dengan membawa nampan dan air.

“Yo anjing merah jambu”

S  E  L  FTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang