5. Apa baik-baik saja?

438 51 0
                                    

Sama seperti dia yang tidak waras di malam pernikahannya, kini dia pun tidak waras setelah menyaksikan sumpah pernikahan Kaisar dan Evalina. Hari itu dia bak orang gila kesakitan.

Dia tidak ďapat menyaksikan kebersamaan Evalina dan Wilhelm yang berbahagia lebih lama lagi, serta tidak tahan jika turut berbahagia untuknya. Mungkin alasan Evalina memintanya berkorban dan mengalah pada Wilhelm adalah ini.

Perasaan wanita itu yang lebih condong pada Kaisar, sehingga mencarikan jalan aman agar Kilian tersingkir tanpa perlu pertumpahan darah. Merenungkan segalanya, dia sadar betapa beracunnya mencintai seseorang. Rasa kecewa dan sakit yang dia rasakan membuatnya mengurung diri di kantornya. Meminum alkohol untuk mematikan rasa sakit dan  penderitaannya.

Dia bukan hanya patah hati. Dia ditusuk oleh orang yang dia cintai dan berkorban dengan sia-sia. Dimanfaatkan. Menyedihkan. Entah kemana Evalina yang selama ini menjadi orang yang peduli terhadapnya.

Dalam mabuk yang berat, penderitaan itu dia tetap berjalan. Kilian keluar dari kantornya dan berjalan di koridor. Langkahnya oleng, tidak konsisten. Wajah tampannya gelap, tanpa kegembiraan.

Dari kejauhan seorang wanita berdiri dan menatap ke arahnya. Kemudian wanita itu mendekat. Kilian dengan cepat tahu kalau wanita yang mendekat itu istrinya. Mengenakan piama jubah tidur sembari ditutupi selendang.

Kilian pun tidak menghentikan langkah kakinya hanya karena terhalangi atau di depannya ada seseorang. Bagaimana cara istrinya melihat suami yang patah hati karena wanita lain?

"Apa Anda baik-baik saja, Tuan?" Suara istri Kilian terdengar khawatir. Anehnya  hari itu Kilian ingin mengatakan kalau dia tidak baik-baik saja.

Mata Kilian menatap istrinya yang begitu jarang dia ajak bicara. Istrinya cantik meski tak secantik Evalina. Tapi mungkin lebih baik tak secantik itu agar dia tidak terluka. Mata istrinya yang menatapnya membuat Kilian merasa seperti menatap sebuah danau.

Kilian harap dia tenggelam saja walau hanya sesaat.

"Menurutmu aku tidak baik-baik saja?" Namun egonya berbicara lebih dulu dibanding jiwanya.

"Bukan begitu, Yang Mulia. Maaf karena saya menanyakan hal yang tidak perlu. Anda melewatkan kamar Anda. Mari saya tuntun Anda ke sana."

Bianca memapahnya ke kamar. Membawanya masuk dan membantunya berbaring di kasur. Aroma manis tercium dan perasaan hangat tubuh mereka bersentuhan menggelitik hati Kilian. Dalam kondisi mabuk, dia tampaknya lebih membuka hatinya sementara indranya lebih perasa.

Tampaknya dia menemukan dirinya nyaman pada istrinya. Mungkin karena itu, saat Bianca akan pergi Kilian bangun dan menahan tangannya.

"Jangan pergi ... jangan meninggalkanku juga."

Bianca menatapnya lama. Ekspresi khawatir itu tampaknya bercampur dengan rasa simpati seolah ikut merasakan yang dia rasakan. Bianca tidak jadi pergi dan duduk di pinggir kasur. Meletakkan tangan di bahu Kilian lalu membantunya berbaring dengan benar.

Kilian menariknya mendekat hingga membuat Bianca terkejut dan jatuh di atasnya. Kilian bergerak memeluknya di posisi tidur yang miring saling berhadapan.

"Yang Mulia? Bisakah Anda melepaskan saya? Ini terlalu erat dan sesak." Bianca memberitahunya.

Kilian mencari kenyamanan dengan baik. Kesedihannya perlahan-lahan menguap sementara rasa terluka sepertinya menjadi samar-samar. Namun saat wajah tersenyum Evalina yang bersanding dengan Wilhelm terlintas lagi bak mimpi buruk, Kilian memeluk Bianca lebih erat dan bernapas  untuk menghirup aromanya lebih kuat.

"Mengapa kau melakukan itu padaku," gumam Kilian mengutarakan pertanyaannya. "Mengapa kau lebih senang aku yang menderita? Eve, apa kau ingin melihatku hancur?"

Sesaat Bianca terdiam. Beberapa detik berlalu hingga kemudian wanita itu menghiburnya.

"Bertahanlah Yang Mulia. Hal yang sulit akan berlalu dan semuanya akan baik-baik saja. Anda orang yang kuat. Anda menahan diri Anda meski Anda bisa mengamuk pada mereka dan berkata itu tidak adil."

Suaranya lembut dan membasuh lukanya. Kilian mendapati dirinya menginginkan lebih dari kenyamanan yang awalnya dia dapatkan. Jadi Kilian mengangkat kepala dari ceruk leher Bianca. Menatapnya untuk memberi pemberitahuan. Mata Bianca dipenuhi kegelisahan yang Kilian harapkan tetapi dia tidak menjauh.

Bianca bersedia menerimanya sehingga waktu berlalu lebih panjang dalam kebersamaan mereka. Patut disesalkan karena malam itu terlupakan oleh Kilian. Bahwa mereka menjadi suami-istri yang sebenarnya. Ingatan tentang ini baru kembali ketika Bianca telah tiada. Pada saat dia mencari-cari keberadaan Bianca pada setiap dia menutup mata. Dia pikir dia gila karena bermimpi tentang orang yang telah mati.

Kebenarannya dikonfirmasi oleh para pelayan. Ada hari ketika Bianca keluar dari kamar Kilian dan membuat mereka mengetahui apa yang terjadi. Malam pernikahan Evalina, Kilian tampak memprihatinkan, tetapi pria itu cerah keesokkan harinya.

Kilian lega karena penyatuannya dengan Bianca adalah kenyataan, tetapi itu juga mengundang penyesalan. Sejak dia melupakan itu, mungkin dia mulai terlihat seperti pria brengsek bagi istrinya.

***

Malam harinya setelah Bianca mengucapkan kata cerai seorang pelayan mengetuk pintu kamar. Pelayan itu adalah Susan yang biasanya enggan menampilkan wajah di depannya. Saat itu Bianca sedang duduk di sofa sambil menatap jendela.

"Nyonya, Tuan menyuruh saya untuk memberitahu Nyonya kalau Tuan sedang menunggu di bawah untuk makan malam bersama."

"Dia menyebutku Nyonya?" Bianca merasa geli dalam hati. Selain itu dia tidak sedang inginn makan malam bersama Kilian karena tidak senang dengan pria itu.

"Katakan pada Tuanmu kalau dia bisa makan malam sendiri. Tidak perlu menunggu karena kakiku sedang lelah berjalan," jawabnya tanpa menoleh.

Susan menatapnya dengan tatapan mata yang berkata "beraninya dia menyuruh tuan" tapi Bianca kemudian menoleh dan menemukan Susan yang memang biasanya berani.

"Kau tidak pergi?!" tanya Bianca mengusirnya. "Apa kau lancang memaksa nyonya rumah berjalan sendiri memberitahu tuanmu?" tuduhnya tajam.

Susan segera memperbaiki pandangannya dan menundukkan kepala. "Kalau begitu saya akan pergi."

Pelayan pergi tanpa menutup kembali pintu kamarnya. Bianca menyaksikan sikap lancang pelayan itu namun dia memilih acuh tak acuh. Lagipula itu bukan masalah besar. Saat dia bercerai dengan Kilian dia takkan melihat pelayan itu lagi.

Bianca kembali melamun sambil melihat ke jendela. Ketika matanya mulai mengantuk, dia pun memejamkannya dan mengistirahatkan pikirannya. Tenggelam dalam kenyamanannya sendiri. Tanpa harus memikirkan Kilian atau mencemaskan ketidakbahagiaan sebagai istri pria itu.

Dia hanya ingin hidup sambil mencintai dirinya teramat sangat. Memperhatikan dirinya sendiri. Bersenang-senang. Menikmati hari bersama segala hal yang dia sukai. Karena kebahagiaannya di masa lalu musnah demi orang-orang yang juga hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli padanya.

"Bianca, bolehkah aku masuk?" Suara Kilian tiba-tiba merusak momen tentramnya. Pria itu masuk sebelum dia memberi izin. Bianca memperhatikan dalam diam. Harusnya dia lekas mengunci pintu.

"Pelayan bilang kau kakimu lelah sehingga tidak bisa turun makan bersamaku."

Bianca melihat tangan Kilian yang membawa nampan berisi segelas susu. Sepiring sup yang beraroma lezat serta beberapa butir anggur.

Namun di pintu, Kepala Pelayan datang membawa troli yang penuh dengan makanan.

"Pelayan itu mirip denganmu. Bahkan jika aku melarangmu, kau akan tetap masuk bukan? Izinku tidak berguna."

I Still Want A DivorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang