1. Ingin Bercerai

988 83 0
                                    


“Mari kita bercerai!”

Mata pria itu bergetar dan mulai basah mendengar satu kalimat yang dia ucapkan. Bianca duduk di seberang pria itu dengan ekspresinya yang tenang. Meski pria di depannya adalah pria yang dulu amat sangat dia cintai, hatinya tidak goyah dengan ekspresi menyedihkan pria itu.

“Bianca!” Kilian memanggil namanya. “Aku pasti salah dengarkan? Tidak mungkin kan? Apa aku melakukan kesalahan?”

Pria itu terluka seperti anjing yang akan dibuang pemiliknya. Mencoba agar tali pengikatnya tidak dilepaskan. Naluri mempertahankan pernikahan mereka membuat pria itu mencondongkan tubuh dan memegang tangannya. Menatapnya dengan memohon.

“Apakah karena aku belum meminta maaf dengan benar? Bianca, katakan padaku apa saja sehingga aku bisa melakukan apapun agar kau tidak memikirkan perceraian kita!”

Tangan Kilian begitu hangat di tangannya. Dulu, begitu sulit baginya untuk menerima kontak fisik semacam ini dari suaminya. Seorang pria tampan dan terhormat, Grandduke penguasa wilayah utara yang dingin, seorang anjing kaisar yang menikah atas keinginan kaisar pula, memiliki wanitanya sendiri yang tidak mampu dia raih. Karena wanita itu telah menjadi wanita milik kaisar.

Kisah cinta tak terbalas Kilian begitu terkenal hingga Bianca tidak bisa tidak mengetahuinya. Tetapi yang membuatnya bercerai adalah hal berbeda. Dia masih mencintai Kilian hingga seminggu yang lalu.

“Kau tidak perlu minta maaf dan kau tidak perlu melakukan apapun. Lagipula, kita tidak saling mencintai.”

Bibir Kilian yang indah terbuka seperti dia ingin membantahnya. Namun butuh waktu untuk kata-kata keluar dari mulutnya.

“Itu tidak benar, Bianca … tidak, istriku.”

Kening Bianca berkerut. Betapa manis cara pria itu menyebutnya sekarang. Panggilan sayang ‘istriku’ mungkin akan meluluhkannya di masa lalu. Tapi dia tidak lagi ingin mendengarnya sekarang. Dia menarik tangannya dari pegangan tangan Kilian tetapi pria itu memegangnya kembali dengan putus asa.

“Aku mencintaimu.”

“Tidak!” tolak Bianca cepat. Dia berdiri dan menarik dirinya mundur untuk meninggalkan Kilian. Pria itu ikut berdiri lalu berjalan mengikutinya.

Meraih tangannya dan menariknya berbalik ke arahnya. Memegang kedua lengannya. Memaksanya berbicara.

“Tapi aku mengatakan yang sebenarnya. Aku benar-benar mencintaimu.”

“Benarkah? Cukup mencintaiku sampai-sampai kau mengumpulkan surat selir kaisar di laci meja kerjamu?”

Seketika Kilian terkejut. Terlihat gelisah dan bingung. Sesaat dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan tetapi setelah beberapa saat dia tampaknya mengerti. Dia tidak bisa membantah kenyataan.

“Selir Evalina yang kau idam-idamkan akhirnya ingin lepas dari Yang Mulia. Akankah kau mempertahankan istri politikmu daripada menyambut niat kekasih tercintamu dengan tangan terbuka?”

Pertanyaan Bianca disertai sindiran serta mengandung perasaan tidak percaya terhadapnya. Kilian tidak membantah surat cinta dari selir kaisar, tetapi sepertinya tidak ingin disebut-sebut sebagai kekasih Evalina.

“Bianca … a-aku bisa jelaskan. Itu semua terjadi di masa lalu…”

Bianca menolak mendengar. Masa lalu? Apa Kilian berharap dia akan mempercayai kalau hubungannya dan Evalina hanya masa lalu? Dia segera memotong penjelasannya.

“Kau akan tetap membawa wanita itu menjadi nyonya rumah ini. Membawa wanita itu ke tempat tidurmu. Kau bisa berbuat sesuka hati karena ini adalah rumahmu. Lakukan apapun yang kau inginkan karena aku tidak peduli apapun yang kau lakukan.”

Kata-kata itu Bianca ucapkan dengan tenang seperti udara di permukaan air danau  Tapi Kilian terus merasa nyeri setiap kata yang keluar dari bibirnya. Dia kesakitan pada hilangnya cintanya. Jika Bianca memperhatikannya, dia akan melihat betapa cemas dan pucat wajahnya sekarang.

“Kumohon jangan berpikiran seperti itu. Tidak ada orang yang bisa menggantikan posisimu sebagai istriku dan nyonya rumah ini. Bagiku kau satu-satunya.”

Kilian menyentuh wajahnya. Berharap Bianca menatapnya. Sayangnya wanita itu membuang muka. Ketika dia menyadari bahwa dia mencintai istrinya, dan ketika dia menyadari betapa Bianca mencintainya, dia tidak menyangka istrinya sendirilah yang meminta perceraian.

“Bianca, tolong lihat aku.”

Kilian memohon. Tangannya dengan hati-hati menuntun wajah istrinya yang memalingkan muka kembali berhadapan dengannya. Mencari tatapannya dengan gigih.

“Kumohon, istriku.”

Merasa enggan, Bianca menghela napas seolah dia lelah lalu mencoba melepaskan kedua tangan pria yang menangkup wajahnya. Tangan besar yang kokoh pria itu tidak bergerak sama sekali. Jika dia mengutuk atau mengamuk, mungkin saja Kilian akan melepaskannya. Tapi dia terlalu lelah untuk itu. Setelah mencintainya lalu terluka karenanya, Bianca ingin berhenti sekarang.

Alih-alih menatap Kilian, dia justru menutup mata sambil menepisnya lagi. Dia juga tidak akan mengalah meski dia pihak yang lebih lemah. Dia melepaskan diri dengan menggeliat hingga Kilian kesulitan. Berkat kegigihannya dia pun berhasil.

Kali ini dia bersedia menatap Kilian. Mata birunya yang jernih memiliki kepastian tentang keinginannya. Dia seperti bukan Bianca yang dia perlihatkan selama ini. Dia bukan Bianca yang dikenali. Sama halnya dengan Kilian yang tidak dia kenali.

“Aku sudah memberitahumu apa yang kuinginkan. Jadi aku sudah selesai. Surat perceraian akan tiba di kantormu!”

“Aku tidak akan menandatanganinya. Aku tidak akan melepaskanmu.”

Bianca tidak mengatakan apapun. Dia berbalik memunggungi Kilian dan meninggalkan teras sedangkan pria itu mengejarnya lagi, bersikeras bahwa mereka belum selesai bicara. Meskipun Kilian seorang Grandduke namun dia hanyalah seorang pria yang cemas dan gelisah dihadapkan dengan mimpi buruk bernama perceraian oleh istrinya.

Di mata para pelayan maupun pengawal, akhir-akhir ini Kilian tampaknya telah berusaha melakukan tugas-tugasnya sebagai suami penyayang dan perhatian. Mereka pikir kediaman mereka pada akhirnya akan mendengar tangis suara bayi. Sayangnya Grandduchess pun mengalami perubahan. Tampak pasangan suami-istri itu selalu berada di sisi yang berbeda.

"Bianca, tolong dengarkan aku. Beri aku kesempatan untuk menebus kesalahanku. Aku akan melakukan semuanya. Apapun itu!"

Kilian terus mengejar dan membujuknya. Para pelayan yang kebetulan melihat mereka di lorong bergegas menyingkir lalu menghilang agar tidak mengganggu mereka.

"Tolong. Apa yang harus kulakukan agar kau mau mendengarkanku?"

Takut Bianca akan terus melangkah dengan cepat, Kilian menangkap tangannya dan membalik badannya. Memegangi lengannya dengan erat sembari bertanya dengan putus asa.

"Katakan padaku Bianca, apa yang harus kulakukan?"

Alih-alih menjawab, Bianca mengatakan sesuatu dengan dingin.

"Bukankah aku sudah mengatakan sebelumnya? Kau tidak perlu melakukan apapun. Aku tidak butuh kau melakukan sesuatu untukku. Aku juga tidak butuh kau merasakan sesuatu terhadapku. Aku sudah tidak memiliki harapan apapun padamu, Yang Mulia.

"Tidak ada yang bisa kuharapkan darimu. Tidak ada harapan. Satu-satunya yang kuinginkan adalah perceraian jadi tolong kabulkan hal terakhir sudah kuminta."

Pegangan tangan Kilian melemah tetapi dia tetap memegang lengannya. Pria itu terdiam sesaat tidak lama terdengar gumamannya yang mengulang kata-kata Bianca.

"Tidak ada yang bisa diharapkan ..." ulangnya sedih. Kilian terlihat menyedihkan. Pria itu gemetar menahan patah hati. Bibirnya bergerak . Dia menatap mata Bianca dengan sorot terluka.

"Lalu bagaimana dengan cintaku? Bagaimana denganku? Bianca, aku akan menderita dalam perceraian ini."

I Still Want A DivorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang