4.Berkorban dan menjauh

473 38 0
                                    

Setelah menikah, Kilian langsung membawa pulang Bianca ke rumahnya yang berada di ibukota kekaisaran. Para pelayan berbaris menyambut kedatangannya yang datang bersama grandduchess.

"Kami telah menyiapkan air hangat untuk mandi Tuan dan Nyonya. Kalian pasti lelah setelah acara pernikahan," ucap Kepala Pelayan melayani dengan sepenuh hati. Mungkin juga sedikit berharap melihat adanya romansa.

"Bawa Nona Bianca ke kamarnya, aku akan beristirahat di kamarku!"

Untuk sesaat terjadi keheningan. Namun sebagai orang yang berpengalaman, Kepala Pelayan bergegas melakukan perintah tuannya tanpa banyak bertanya lagi.

Bianca kemudian berpamitan dengannya. "Kalau begitu selamat beristirahat, Yang Mulia."

Bianca memberi salam dan mengikuti Kepala Pelayan. Kilian menghembuskan napas lelah setelah keduanya pergi. Melonggarkan dasi dengan kasar lalu berjalan menuju kamarnya.

Fakta bahwa ada keberadaan seorang istri terasa menyesakkan karena istri itu bukanlah Evalina. Ditambah hadiah pernikahan dari Wilhelm serta bangsawan lainnya yang menumpuk bagaikan seringai ejekkan sekaligus penghinaan baginya. Kini rumahnya sendiri pun menjadi tidak nyaman.

Di dalam dadanya terasa sakit. Malam harinya dia dan istrinya makan malam bersama-sama tanpa banyak patah kata. Kilian bahkan enggan bertanya basa-basi seperti "apakah makanannya sesuai dengan seleramu?" atau "apakah kau menyukai kamar yang disiapkan untukmu?" yang menunjukkan perhatiannya.

Makan malam itu berakhir dengan kata, "Aku selesai." Kilian meninggalkan ruang makan tanpa menoleh ke belakang.

Malam ini adalah malam pertama untuk pernikahannya. Dia menghela napas lagi karena enggan melakukan ritual pengantin. Memikirkan dirinya mempersembahkan cinta pada wanita selain Evalina membuat jiwanya serasa dikikis.

Dia sejujurnya berpikir bahwa pernikahan harusnya bahagia. Dia pikir dia akan menjadi suami yang baik dan bertanggung-jawab dalam bayangannya. Saat itu, wajah Evalina yang muncul saat dia memikirkan masa depan.

Bahkan saat ini, wajah Evalina terlintas jelas di benaknya. Kilian bersiap, didandani dengan perasaan yang dingin. Mengenakan jubah tidur yang memamerkan dada bidangnya. Rambut coklat gelap pendeknya disisir ke belakang seluruhnya, memamerkan seluruh aspek ketampanan yang membuat wanita mana pun kecuali Evalina tampaknya terpikat.

Setelah menenggak segelas anggur, Kilian melangkah mendekati kamar istrinya. Wanita bernama Bianca yang wajahnya belum mampu dia ingat. Pelayan yang melayani wanita itu melihatnya dan sepertinya bergegas melapor kedatangan Kilian. Pelayan itu pun bergegas meninggalkan kamar istrinya dan menyapa Kilian dengan sopan begitu dia akan lewat melintasinya.

Kilian mengetuk sebelum membuka pintu yang tidak terkunci. Tidak merasa perlu mendengar jawaban istrinya. Begitu pintu dibuka, dia melihat sosok wanita yang cantik duduk sambil memeluk kedua lutut di atas kasur. Mengenakan set piama panjang nan tertutup.

"A-anda sudah datang," Bianca menyapanya. Tersenyum agak canggung. Mungkin karena takut atau gugup.

"Ya."

"Masuklah Tuan," ajak Bianca meski tidak meninggalkan kasur untuk menyambutnya. Senyumnya menjadi lebih ramah.

"Senyum Evalina lebih cerah dan ramah dari itu." Kilian bergumam dalam hati, membanding-bandingkan istrinya dengan mantan sahabat kecilnya.

"Aku tidak berniat untuk benar-benar masuk ke dalam." Dia lalu memberitahu niat hatinya. "Kau biasa tidur sendiri kan di rumah orang tuamu?"

Mendengar pertanyaan Kilian, Elena awalnya terdiam namun kemudian tersenyum. Tidak mengatakan apa-apa. Hal itu membuat Kilian merasa malu karena sepertinya Bianca mengerti satu hal yang belum dia ungkap langsung.

"Benar. Saya sudah mulai tidur sendiri sejak saya memiliki tutor belajar, Yang Mulia Grandduke. Jadi Yang Mulia tidak perlu menghawatirkan saya. Saya wanita dewasa yang kalau tidur harus diurus seseorang."

Bianca tersenyum menghibur Kilian. Mungkin wanita itu tidak mengerti karena pendidikannya kurang. Atau mungkin dia sangat terlindungi sejak masih berada di kediaman Count hingga dia pun tidak diajarkan pendidikan pengantin sebelum menikah.

Tanpa Kilian ketahui Bianca merelakan diri kalau-kalau Kilian berniat mengabaikannya malam ini.

"Syukurlah." Begitu Kilian mengucapkan kata itu senyum Bianca menghilang meski begitu singkat. Wanita itu kembali tersenyum namun nampak sedih. "Karena aku sangat sibuk. Kalau begitu aku pergi!"

Kilian membelakangi Bianca, menjauh dari kamar istrinya lalu pergi. Membiarkan dirinya sendiri menjadi pria yang bersalah. Dia menertawakan diri sendiri. Mengira-ngira apakah lebih baik istrinya tidak tahu apa-apa dan bodoh seperti sekarang. Setidaknya wanita itu tidak akan merasa dirinya dihina.

Karena itulah Kilian menjadi lebih tidak waras. Serba salah. Sebagai suami dia jelas sadar di mana dia harus berada. Mungkin dia takkan gelisah saat melihat Evalina. Cintanya pada Evalina begitu besar dan jika dia bisa memeluknya, bukankah dia pantas mendapatkannya setelah berkorban hari ini?

Maka Kilian mengganti pakaiannya lagi. Mengambil kuda di kandang lalu pergi sendirian meninggalkan rumah. Menembus udara malam yang dingin. Memamerkan keberadaannya yang nyata. Wajah Kilian familiar bagi banyak orang.

Jadi apa yang Grandduke lakukan di luar pada malam pengantin?

Besok-besok berita di majalah gosib ibukota mungkin akan menulis judul seperti itu. Andai Kilian tertarik pada majalah gosib dia akan terpikirkan tentang cerita semacam itu akan muncul menjadikannya sebagai tokoh utama sebuah gosib.

Tiba di kediaman Duke Grandiel, Kilian dihadapkan pada penjaga gerbang. Penjaga terkejut karena kedatanganya yang tak terduga akan tetapi mempersilakannya masuk karena hubungan dekatnya dengan Evalina.

Seseorang diminta memberitahu kedatangannya pada wanita itu. Tidak lama Evalina muncul dengan panik seolah khawatir tentang apa yang terjadi. Menuruni anak tangga sambil mengangkat roknya dengan tak sabar.

Kilian bergegas mendekati Evalina dan memeluknya erat. Begitu erat. Menyandarkan kepala di bahunya dan menghirup aromanya dalam-dalam.

"Kilian?!"

Evalina memanggilnya bingung. Membalas pelukannya dan menenangkannya. "Apa sesuatu yang buruk terjadi?"

"Eve, kau harusnya bisa melihat keadaanku tanpa bertanya. Kau harus menanggung setidaknya kedatanganku kemari karena kaulah yang memintaku berkorban."

Evalina tidak menjawab. Pelukan mereka bertahan cukup lama. Mungkin akan berlangsung lebih lama lagi jika Duke Grandiel tidak muncul dan menghentikan mereka. Menanyakan sikap tidak pantas apa yang Kilian lakukan. Seorang pria yang baru menikah melarikan diri di malam pengantinnya menemui seorang wanita lajang. Duke Grandiel bertanya apakah Kilian ingin menodai reputasi Evalina dan menodai pernikahannya dengan Bianca Elyas.

Dia diusir. Meski dia grandduke, dia tidak mampu keras kepala karena duke adalah ayah Evalina yang sudah seperti pamannya sendiri.

"Jika kau peduli pada Evalina, kau harus jauhi dia mulai sekarang, Kilian."

Kilian merasakan emosinya lebih hancur. Evalina memintanya berkorban. Kini Grandiel memintanya menjauhi. Ayah dan anak sama-sama berbakat membuat permintaan yang menyakitinya.

Setelah hari itu berlalu, dia tidak berhenti menunjukkan perasaannya pada Evalina. Berlembar-lembar surat, undangan jalan-jalan hingga sekedar minum teh. Semuanya ditolak.

Satu setengah bulan sejak pengorbanannya, Evalina menikah dengan Wilhelm. Pernikahan Kaisar diadakan dengan mewah dan suasana yang sangat meriah.

I Still Want A DivorceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang