#3 The Children's Games🤙🏻

39 27 20
                                    

“Dari mana saja kalian? Jam segini baru datang?” cerca seorang anak laki-laki berkacamata. Tangannya bersedekap di depan dada.

Sementara di hadapannya, gadis berponi serta berkuncir kuda yang mengenakan kaos lengan pendek belang—kuning putih—dengan celana selutut yang juga berwarna kuning, malah tersenyum tanpa dosa.

“Maaf ya, sudah membuatmu dan yang lain menunggu. Nih, tadi aku harus menunggu Alin bangun tidur dulu. Kamu tahu sendiri, dia kalau tidur 11/12 seperti kebo,” jelasnya sambil bergurau.

Gadis yang memakai kaus dan celana yang serba panjang di sebelahnya protes tak terima. “Enak saja! Salah kamu tidak membangunkan ku!”

Noor tertawa nyaring mendengar gerutuan Alin. Sedang Fais, lelaki gempal berambut gelombang itu mendengus kesal, ia tak mengerti.

“Maksudnya gimana, sih?”

“Tanya Noor saja!” Alin merajuk lantas berlari pergi entah kemana.

Fais masih berdiri setia, menuntut penjelasan dari siapa pun yang terlambat datang ke tempat bermain mereka. Sebab mereka punya aturan main seperti kerajaan. Permainan yang terinspirasi dari sebuah film di televisi.

Berhubung lapangan itu milik ayahnya yang seorang juragan tanah, Fais mewarisi gelar Putra Mahkota dan menjadi Sultan mereka. Noor sendiri memiliki pangkat sebagai Wazir Agung—hampir setara dengan Sultan, tapi tetap berada di bawah perintahnya.

Helena, sepupu Noor, menjadi Panglima Perang. Gaya khas tomboy-nya cocok untuk menangani perselisihan yang dapat memicu perang antar kawan.

Hanya tiga orang yang menjadi pengurus inti: Fais, Noor, dan Helena. Selebihnya adalah anggota. Fais lebih senang menyebutnya para hamba sahaya—termasuk Alin dan beberapa teman lainnya.

Tawa Noor berangsur-angsur reda. Fais masih menunggunya berbicara. Maka, dengan senang hati Noor pun menceritakannya.

“Alin, Alin, bangun hey!”

Sudah belasan kali Noor menggebrak-gebrak tubuh Alin, tapi gadis itu tak kunjung bangun. Dia curiga Alin pingsan.

“Biarkan saja, Noor. Nanti juga bangun sendiri. Kamu makan dulu saja buburnya,” ucap Sinta yang sedang memberi makan ikan di aquarium. Tadi ia membawakan bubur untuk kedua gadis itu.

Noor mengangguk. Tangannya mulai mengambil sesendok bubur dan menyuapkannya ke dalam mulut. Manis.

“Mah, Noor mau bermain ke lapangan, ya?” izinnya meminta persetujuan.

Sinta melirik sedikit sebelum ia berkata, “Pulang selepas Zuhur, jangan sore-sore!”

“Iya, Mah.” Noor mengangguk lagi. Sudah biasa mendengar suara emaknya yang agak ketus tersebut.

Buburnya sudah hampir habis. Ketika Noor hendak bangkit mengambil air minum, sofa yang ia duduki lebih dulu berdecit. Alin bangun.

“Jam berapa ini?” tanyanya, meski baru setengah sadar.

Noor melihat jam dinding dan dengan entengnya ia menyahut, “Jam sebelas.”

“Apa?!”

Alin sontak terduduk dan melihat ke arah yang sama untuk memastikan kebenarannya. Dan itu benar-benar pukul 11.00 WIB.

Alin menatap nyalang pada Noor. Sedang si empu yang ditatap, menyodorkan semangkuk bubur manis dengan senyuman yang tak kalah manis.

“Mau bubur?”

Noor kembali terpingkal selepas menceritakan kronologi keterlambatan mereka. Ia masih mengingat wajah lucu Alin yang murka.

Naif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang