#5 Es Krim Strawberry🍧

18 14 6
                                    

"Kadieu, Noor!" (ke sini Noor) ucap Sang Nenek yang sedang menggendong seorang bayi.

Kedua gadis berkuncir kuda berdiri di ambang pintu kamar-saling menatap. Rambut hitam legam Noor kontras dengan rambut pirang Helena, membuat mereka tampak seperti kembar tak seiras. Tinggi badan mereka hanya berbeda satu jengkal.

Netra cokelat jernih Noor menatap lekat lensa hitam Helena. Si Pirang mengangguk meyakinkan. Noor menunduk, berjalan mendekati neneknya. Ia takut menatap wajah Sinta yang sedari tadi memandangnya dengan tatapan horor. Lalu duduk di tepi ranjang.

"Tingali, adina Noor. Geulis pisan, nya?" (lihat, adikmu Noor. Cantik sekali, kan?) ujar sang Nenek, menaruh hati-hati bayi itu di samping Sinta. Sekarang Noor dapat melihatnya dengan jelas.

Wajahnya kecil, kulitnya sawo matang, dan alisnya tipis. Noor refleks meraba alis lebatnya. Mengapa berbeda?

Bayi itu tertidur damai. Noor jadi tidak bisa melihat warna matanya. Ia ingin sekali memegang pipi chubby itu, tapi ketika melihat telapak tangannya yang kotor-ia urung melakukannya.

"Mandi, Noor. Habis itu makan. Dari pagi belum makan apa-apa juga!" Sinta berbicara dengan nada yang seperti biasa ketusnya.

"Tadi kan udah makan bubur," sahut Noor memberanikan diri.

"Cuma bubur, bukan nasi! Itu pun sedikit," bantah Sinta.

Noor mengerutkan dahinya, jelas-jelas dia melihat ibunya memasak beras dengan banyak air dan mengaduknya hingga menjadi gumpalan lengket yang akhirnya diberi nama bubur. Itu artinya Noor sudah makan nasi.

Ingin sekali Noor membela diri, tapi sang Nenek lebih dulu ceramah.

"Jung, Noor gera mandi. Ulah loba ngabantah, pan udah jadi kakak sekarang mah. Kudu sing bageur, Noor." (Sana cepat mandi Noor. Jangan banyak membantah, kan sekarang sudah jadi kakak. Harus lebih baik, Noor)

Noor tidak bisa lagi berkata bila neneknya sudah berbicara. Ia mengangguk manut.

"Ayo, Noor, gantian mandinya. Aku juga gerah," ajak Helena yang masih setia diambang pintu.

Noor tersenyum dan kembali mengangguk semangat.

"Tong lila-lila!" (jangan lama-lama!) peringat sang nenek, suaranya sinis.

Helena memutar bola matanya jengah. Ia segera menarik lengan Noor. "Aku mau ambil handuk dulu. Kamu bisa mandi duluan, nanti aku tunggu di depan pintu. Jangan lama-lama, ya!" jelas Helena detail.

Noor lagi-lagi hanya mengangguk. Di keluarga mereka, saling menumpang kamar mandi itu sudah biasa. Terkadang, Noor pun menumpang mandi di rumah Helena yang berada tepat di sebelah rumahnya-ketika kamar mandinya sedang ada orang.

Sementara Helena mengambil handuk, Noor telah mengguyur badannya. Air keran yang langsung dari pegunungan itu menyegarkan sekali. Ia mencuci muka dan menggosok kaki.

Helena, dengan gaya khasnya yang sedikit nyeleneh-memainkan handuk layaknya seorang koboy. Ia masuk ke rumah Noor tanpa permisi, seolah pribumi.

"Astaghfirullah!"

Sang Nenek, yang baru saja keluar dari kamar Sinta, terkejut mendapati wajahnya nyaris terkena handuk Helena. Ia sontak berhenti, kaget.

"Kabiasaan budak teh! Coba sakali-kali cicing, nurut siga si Noor. Ulah loba gaya!" (Kebiasaan anak ini! Coba sekali-kali diam seperti Noor. Jangan kebanyakan gaya!) ujar sang Nenek dengan nada tinggi.

Helena menyampingkan handuknya di bahu, memandang datar wajah keriput Nenek tua itu.

"Ya," sahutnya singkat, lalu berlalu begitu saja.

Sang Nenek menggeleng melihat kelakuan Helena yang jauh berbeda dengan Noor. Ia pun melangkahkan kakinya ke dapur.

Helena telah berdiri di pintu kamar mandi, yang bersebelahan dengan dapur. Ia menunggu Noor keluar. Tatapan datarnya kembali tertuju pada Nenek saat melihatnya datang untuk membereskan dapur. Banyak piring kotor dan sisa makanan di wastafel.

Sejak Sinta melahirkan, Nenek lah yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapian rumah ini. Ia memutar keran dan mulai mencuci. Helena memerhatikan dari jauh punggung kurus itu.

"Teh Helen!"

Naif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang