#9

0 0 0
                                    

“Allahuakbar ... Allahuakbar .... Allahuakbar! Laa ilaaha illallahu Allahuakbar! Allahuakbar, wa lillaah Ilham!”

“Siapa cepat, dia dapat!” teriakku lantang, hingga menggema di seluruh penjuru ruangan.

Aku dan Teh Luna sedang berlomba menuju dapur untuk mengambil ketupat pertama buatan nenek. Siapa yang lebih dulu sampai, dialah Sang Pemenang.

“Kau curang, Yara!” pekik Teh Luna yang sudah tertinggal jauh di belakang. Itu memang taktikku, berlari duluan bahkan sebelum hitungan ke tiga digaungkan.

“Sedikit lagi ...,” gumamku, dengan kecepatan lari yang melebihi kilat. Aku menerjang melewati beberapa orang di rumah nenek yang lumayan luas itu. Tidak peduli akan aksi mereka yang meneriakiku dengan sumpah serapah tak bermutu. Aku tetap melaju.

“Ya ampun, Yara! Berhati-hatilah!” teriak Mama yang tengah membawa keluar setumpuk ketupat dari dapur. Aku menyengir kuda dan menyahut, “Maaf, Ma!”

“Yara, awasss ...!” 

Aku terhenti seketika di hadapan panci besar berisi sayur lodeh yang tengah dipangku oleh Teh Icha—sepupuku sekaligus kakaknya Teh Luna.

Nafasku tersengal-sengal, hampir saja aku menjadi bagian dari sayur itu. Untungnya, peringatan keras Teh Icha berhasil menghentikan langkahku yang tinggal lima kaki dari pantat hitam aluminium tersebut. Jika tidak, habis sudah aku kena donat Mama.

“Ya ampun, Yara! Sudah dibilang hati-hati. Kau hampir saja membuat kita semua tidak jadi makan besok!” omel Mama, di depan orang-orang dewasa yang kini menjadikanku sebagai pusat perhatiannya.

Aku tertunduk malu. “Maaf ...,” cicitku.

“Yeay! Yuhuu ... Aku menang!” seru Teh Luna, sambil mengacungkan ketupat di tangan kanannya. Oh, Allah, Teh Luna tidak tahu situasi sekali.

“Astagfirullah ... Kalian ini! Sudah tahu dapur ini sempit dan kami sedang sibuk-sibuknya memasak. Mengapa malah bermain di sini?! Saudara-saudaramu yang lain bermain di luar, Yara, Luna!” omel Mama lagi, semakin murka. Teh Luna tampak menyesali perbuatannya dan ikut menunduk sepertiku.

“Sudah, Luna, ajak Yara bermain di luar dan jangan lari-larian ke sini lagi!” titah Mama, masih menahan diri untuk tidak bernada tinggi. Kami hanya mengangguk patuh, tak mampu bersuara. Lalu, berjalan ke luar sambil berdesak-desakan, isyarat tak mau disalahkan.

“Sekarang, kita akan bermain apa?” tanyaku, terduduk lesu di emperan teras rumah nenek yang tepat berseberangan dengan rumahku. Sedang, di sampingnya terdapat rumah Teh Luna dan rumah para tetangga bercitarasa saudara, salah satunya adalah rumah Airin dan Sani. Beruntung sekali bisa hidup di tengah-tengah kampung yang ramah dan memiliki solidaritas tinggi.

“Mari bergabung bersama A Zaki!” ajak Teh Luna. Aku memandang A Zaki—sepupuku—di pinggir masjid yang tak jauh dari tempat kami duduk. Dia dan teman-temannya sangat heboh memukul-mukul beduk berukuran dua kali lebih besar dari kepala orang dewasa tersebut.

Aku menggeleng kecil. “Itu tempat laki-laki, aku tidak mau,” tolakku halus. 

“Kalau begitu, bagaimana jika petasan? Katanya kau masih punya petasan yang dibeli minggu lalu?” saran Teh Luna, tak kehabisan ide.

Aku berpikir sejenak. “Tidak buruk. Baiklah, ayo, ambil!” kataku bersemangat.

Namun, baru saja kami akan melangkah, sebuah klakson motor memekikkan telinga. Sorot lampunya menyilaukan pandangan mata. Sedetik kemudian, kuda besi tersebut berhenti di depan rumah kami dan lampunya pun mati. Terlihat kini siapa yang telah datang.

“Yoyo?!” seruku, tak percaya. Sepupuku yang umurnya masih enam tahun itu tersenyum riang ke arah kami. Ia turun, seraya berhambur memelukku.

“Kak Yara!” ujarnya senang. Aku balas mendekapnya erat. “Kata Teh Luna, Yoyo ke sininya besok, kok sekarang sudah tiba saja?” tanyaku pada anak lelaki yang memiliki nama lengkap Tio Pakusadewa tersebut. 

Naif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang