#6 Athar😌

16 12 1
                                    

Gerbang besi sekolah menjulang tinggi, membentang bagaikan penghalang antara Alin dan Noor dengan dunia luar.

"Bagaimana kita akan keluar?" tanya Alin, suaranya sedikit panik.

Noor diam, pikirannya melayang ke perpustakaan. Seandainya dia tidak tertidur pulas setelah ulangan, mungkin mereka tidak akan terjebak di sini.

Alin melirik jam tangannya. Pukul 10.35 WIB. Sekolah sudah bubar sejak 35 menit yang lalu. Hanya Alin yang menyadari bahwa Noor tidak ada di kelas. Helena dan teman-teman lainnya memilih pulang duluan tanpa menunggu Noor. Alin mencari anak itu hingga akhirnya dia menemukannya tertidur pulas di pojok perpustakaan-tubuhnya tertutupi oleh lemari besar.

"Bagaimana kita akan keluar, Noor?" desak Alin.

Gerbangnya terkunci. Sepertinya, penjaga sekola mengira sudah tidak ada siswa di sana.

Noor melihat sekeliling. Matanya tertuju pada pagar tembok sekolah yang berlubang persegi panjang. Ukurannya cukup besar, muat untuk tubuh Alin yang mungil.

"Kamu bisa menyelinap lewat lubang tembok itu, Alin," kata Noor. "Aku akan memanjat gerbang ini."

Dia tahu, badannya yang lebih berisi dari Alin tidak akan muat bila harus lewat lubang tembok itu.

Alin mengerutkan kening. "Kamu yakin? Itu berbahaya!"

"Ini sama saja seperti memanjat pohon," jawab Noor, nada suaranya tenang.

"Gerbang ini memiliki banyak sekat yang bisa diinjak." Noor sudah belajar memanjat dari Helena kemarin.

Alin masih ragu, tapi Noor sudah mulai memanjat gerbang. Tangannya menggenggam besi dingin. Gerakannya sedikit gemetar, tapi ia segera mengikis rasa takutnya.

Seolah pemanjat profesional, Noor berhasil mencapai puncak gerbang dengan mulus. Ia berdiri tegak, sedikit berpegangan pada bagian atas gerbang yang tajam. Roknya sedikit tersangkut, tapi Noor berhasil melepaskan dengan cepat.

Alin menyaksikan dengan jantung berdebar kencang. Ia berdoa agar Noor selamat. Kemudian, Noor pelan-pelan turun dari atas gerbang dan setelah cukup dekat ke permukaan tanah, ia melompat. Alin tercengang menyaksikannya.

"Sudah kubilang ini mudah," kata Noor, tersenyum lebar. "Ayo kita pulang!"

Noor mengambil tasnya dari Alin dan membantunya keluar lewat lubang tembok tersebut. Alin masih terkesima, ia membiarkan Noor mendahuluinya. Mereka pulang dengan berjalan kaki. Sebab jarak rumah mereka ke sekolah hanya sekitar 10 menit.

"Aku masuk duluan ya," ujar Alin, sesampainya di depan rumah. Nafas mereka tersengal-sengal akibat Noor mengajak Alin untuk berlari-lari kecil.

Noor mengangguk. Ia kembali berloncat ria yang membuat kepangan rambutnya berayun ke kiri dan ke kanan. Ketika Noor tiba di depan rumah, langkahnya terhenti.

Noor terpaku di ambang pintu, matanya terbelalak tak percaya. Sosok lelaki berkaos oblong putih dengan rambut bowl cut, tengah bersantai di sofa. Ia fokus dengan ponselnya.

"Bang Athar?" gumamnya, nyaris tak terdengar.

Laki-laki itu mendongak, senyum manis mengembang di bibir tipisnya. "Hai, Noor," sapa Athar hangat.

Noor melangkah ragu, jantungnya berdebar kencang. "Kapan datangnya, kok gak ngasih tahu?" tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

Athar terkekeh, mengelus lembut puncak kepala Noor. "Papa buru-buru ke sini begitu mendengar ibumu melahirkan. Jadi, nggak sempat ngabarin. Wah, jadi kakak nih sekarang, ya!" ucapnya, menyolek jahil hidung Noor.

Naif Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang