Smile

145 5 0
                                    

"Phuwin!!"

Phuwin tersenyum mendapati Poon yang tengah duduk di dekat pintu ruang operasi. Kalau tangan kirinya tidak sedang memegangi tangan kanannya yang baru saja dimasuki selang untuk mengambil darah, Phuwin sudah sangat yakin akan segera merangkul Poon.

Phuwin memilih ikut duduk di samping Poon yang hidungnya terlihat merah. "Kau benar-benar sayang Marc ya sampai-sampai menangis seperti itu." Bertanya seraya menyerahkan sebungkus tisu yang sempat ia beli.

Poon hanya tersenyum lantas meraih uluran Phuwin untuk membersihkan ingus yang memenuhi kedua lubang hidungnya.

"Walaupun nakal, aku tidak bisa jauh-jauh darinya. Marc itu baik sekali padaku. Kadang kalau aku marah karena dia yang sibuk menggoda orang lain, Marc datang ke apartemen demi meminta maaf tidak akan mengulangi, padahal selalu diulangi."

Poon menjeda ucapannya.

"Aku selalu tidak bisa menolak permintaan maafnya padahal sudah kelewat sering. Tapi setiap mengingat seperti saat terjadi pencurian di apartemenku, Marc datang hanya dengan sandal rumah di salah satu kakinya. Atau saat aku sakit, dia juga datang dengan sweater terbalik, itu benar-benar sesuatu hehehe..."

Phuwin menelan ludahnya kasar. Mendengar penjelasan Poon barusan, Phuwin ingat Pond yang sudah lama ia hindari.

Apa kabar Phuwin? Phuwin rindu. Tapi Phuwin terlalu takut untuk menemui Phuwin. Dia takut jika Pond benar-benar mau putus dengan dia. Tamat sudah kehidupannya.

"Phuwin, aku mau ke toilet sebentar." ucap Poon yang sudah berlalu lebih dulu sebelum mendengar jawaban Phuwin.

Phuwin mendecak lalu menyenderkan tubuh pada kursi tunggu. Hari ini dia sudah melakukan hal yang sangat mulia dengan mendonorkan darah pada Marc yang tengah membutuhkan.

Phuwin harusnya bangga karena dapat membantu Marc. Ia harusnya benar-benar bangga sudah membuat selangkah mendekati kesembuhan Marc yang tengah di operasi.

Seharusnya.

"Huh..." Phuwin menghela. Kenapa dirinya justru terus memikirkan Pond.

Ucapan Poon tadi benar-benar membawa pemikiran Phuwin melayang di atas ambang kewajarannya.

Poon benar. Bahkan Poon jelas-jelas diduakan oleh Marc, tapi Poon sama sekali tidak pernah merasa seputus asa seperti dirinya.

Pond itu sayang Phuwin, menurut pendapat Dunk. Seharusnya Phuwin juga mengerti seperti apa sifat dan kelakuan Pond. Dia harusnya tidak gegabah seperti itu. Pond mau menerimanya menjadi seseorang yang di atas kata teman saja sudah menandakan laki-lakinya itu serius, bukankah seharusnya begitu?

Tapi hubungan Fourth dan Gemini saja pernah tidak dilandasi perasaan spesial!

Atau karena Gemini yang tidak mau menyadari perasaannya waktu itu karena Gemini yang hanya ingin menuntaskan tantangannya.

Phuwin mengerucutkan bibirnya dan terpejam. Pusing.

Puk!

Sesuatu seperti menimpa bagian atas kepalanya. Berat dan begitu lembut saat mengusap rambutnya. Tunggu sebentar!

Phuwin membuka kedua matanya. Rasanya seluruh darah dalam tubuh Phuwin mengalir melewati bilik dan serambi jantungnya sangat cepat sampai-sampai Phuwin merasa tersengat.

"Kau yang terbaik. Kerja bagus."

Pond...

Pipi Phuwin memerah. Kedua bola matanya memperhatikan deretan gigi orang di hadapannya. Senyum labubu yang Phuwin rindukan.

Phuwin memejamkan matanya saat Pond mengecup bibirnya sekilas. Kedua tangan Pond yang menangkup wajah Phuwin terasa begitu hangat. Phuwin masih tidak bisa mempercayai ini.

Some - GeminiFourthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang