12. Geschädigt

19 11 0
                                    

HAPPY READING ROWW!

Lima hari di desa ini, Karl merasa hatinya lebih tenang dan damai daripada sebelumnya. Kehidupan yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar memberikan ruang baginya untuk merenung, menghilangkan beban dari bahu yang sudah lama terasa berat. Sebenarnya, ia ingin tetap tinggal lebih lama di sini, namun telepon dari Elgard yang terus mengingatkannya untuk pulang tak bisa diabaikan begitu saja. Sang Opa, dengan ancaman dan tuntutannya, memaksa Karl kembali ke kehidupannya yang sebelumnya.

Dengan rasa enggan, Karl mulai bersiap untuk pergi. Ia memanaskan mobilnya lebih dulu, lalu membereskan pelataran rumah kecil yang ia miliki di desa tersebut. Udara pagi yang sejuk sejenak menenangkan perasaannya, namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa kedamaian ini hanya sementara. Karl menghela napas panjang sebelum akhirnya masuk ke mobil dan mulai menyusuri jalan berdebu menuju kota.

Di tengah perjalanan, tanpa peringatan, sesuatu yang tak diharapkan terjadi. Tiga mobil secara tiba-tiba muncul dari berbagai arah—satu dari depan, satu lagi dari belakang, dan yang ketiga mengapit dari sisi kanan, memaksa Karl menghentikan laju mobilnya. Keadaan ini membuat detak jantungnya semakin cepat, dan perasaannya mendadak dipenuhi firasat buruk. Ia keluar dari mobil dengan waspada, matanya menatap tajam pada mobil-mobil tersebut. Salah satu mobil tampak tidak asing baginya, dan itu membuatnya mengernyit.

“Karl…” suara berat yang datang dari belakang membuat Karl langsung mengepalkan tangan. Suara itu sangat dikenalnya—suara yang tidak pernah ia harapkan untuk dengar di saat seperti ini. Perlahan, ia berbalik, dan di sana, berdiri seorang pria dengan setelan jas rapi, wajah yang sangat mirip dengannya, hanya lebih tua. Grazio, ayahnya, yang selama ini ia hindari, kini berdiri di depannya, memblokir jalannya.

“Apa kabar, anakku?” Grazio menyapa dengan senyum kecil di bibirnya, sementara tangannya dengan santai menyentuh bahu Karl. Namun, sentuhan itu segera ditepis kasar oleh Karl. Tidak ada yang ingin Karl rasakan lebih dari dorongan untuk pergi dari sini secepat mungkin. Pikirannya sejenak terpaku pada mobilnya, membayangkan bagaimana ia bisa kabur dari situasi ini.

“Berhenti bersikap baik di hadapanku,” Karl menyembur dengan suara keras, napasnya mulai memburu. Di dalam hatinya, ia ingin sekali masuk kembali ke mobil, menancap gas dan menabrak semua yang ada di depannya. Namun, seakan tubuhnya menolak bekerja sama, kakinya terasa kaku, seolah tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Grazio menarik napas panjang, tidak tampak terganggu oleh sikap kasar Karl. “Baiklah,” katanya, suaranya penuh dengan kesan menekan. Seketika, suasana yang semula ramai dengan lalu-lalang kendaraan mendadak berubah mencekam. Seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang begitu saja, meninggalkan hanya kesunyian yang menghantui.

Tanpa kata-kata lebih lanjut, Grazio mengeluarkan pistol dari sakunya, lalu mengarahkannya ke dada Karl. Melihat gerakan ayahnya, Karl merasa seluruh tubuhnya tegang. Jantungnya berdetak kencang, seolah meminta pertolongan pada dirinya sendiri, pada seluruh organnya yang kini dicekam oleh ketakutan. Namun, ekspresi wajahnya tetap dingin, berusaha tidak menunjukkan ketakutan apa pun.

“Apa maumu, pria tua?” Karl menahan amarah yang bergelora dalam dirinya. Suaranya bergetar sedikit, namun ia berusaha menutupi itu dengan nada penuh penekanan, tangannya terkepal kuat.

Grazio tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya tertuju pada Karl, tatapan yang penuh dengan sesuatu yang tidak bisa diartikan. Di balik ketenangan itu, ada kesan dingin yang membuat Karl merasa bahwa situasi ini lebih berbahaya daripada yang ia kira.

Kemudian, jari Grazio bergerak pelan ke pelatuk pistolnya. Karl bisa melihat setiap detik gerakan itu, seolah-olah waktu melambat. Pelatuk tegang itu memancarkan ketegangan yang sama dengan udara di sekitar mereka. Tanpa peringatan lebih lanjut, Grazio menarik pelatuknya.

Tembakan terdengar nyaring, memecah keheningan yang mencekam. Namun, Karl sudah siap. Tubuhnya bergerak cepat ke samping, menghindari peluru yang melesat ke arahnya. Ia bisa merasakan angin yang menyertai peluru itu ketika pelurunya hampir mengenai bahunya, hanya beberapa inci dari kulitnya. Jantungnya berdetak kencang, napasnya memburu, tapi ia tahu ini belum selesai.

Grazio, tanpa ekspresi, mengangkat pistolnya lagi. Kali ini, Karl tahu bahwa ia harus lebih cepat. Pelatuk tegang kembali ditarik, dan kali ini Karl mencoba menghindar sekali lagi. Namun, nasib tidak berpihak padanya. Peluru kedua yang ditembakkan Grazio menghantam bahunya dengan keras. Karl terhuyung ke belakang, rasa panas menjalar dari bahu yang kini terluka parah. Darah langsung mengalir, membasahi bajunya.

Karl merasakan sakit yang menusuk, namun ia menahan diri untuk tidak berteriak. Dengan cepat, ia menekan bahunya yang berdarah, berusaha menghentikan aliran darah yang semakin banyak. Meski dalam kondisi ini, pikirannya tetap jernih—ia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. Karl menatap ayahnya dengan pandangan tajam, meski rasa sakit di bahunya terus menghantui setiap gerakannya.

“Kau benar-benar gila,” ujar Karl dengan suara serak, marah bercampur rasa sakit dalam nadanya. “Kau pikir bisa membunuhku dan menyelesaikan semua ini?”

Grazio hanya tersenyum tipis, tidak menjawab pertanyaan itu. Namun, kali ini, Karl tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Dengan gerakan cepat, Karl meraih batu besar di dekatnya dan melemparkannya ke arah Grazio. Batu itu menghantam lengan ayahnya, membuatnya mundur sejenak, dan itu cukup bagi Karl.

Dengan darah yang masih mengalir dari bahunya, Karl segera berlari ke mobilnya, membuka pintu dengan cepat dan masuk. Tangannya yang gemetar mencoba memutar kunci, dan mesin mobil akhirnya menyala. Dengan satu gerakan, Karl menancap gas dan meluncur pergi. Tembakan lain terdengar dari belakang, menghantam bagian belakang mobil, namun Karl terus melaju, meninggalkan Grazio di belakang.

Dengan napas terengah-engah, Karl melaju jauh dari tempat itu. Meski bahunya masih berdarah dan tubuhnya semakin lemah, ia tahu bahwa ini belum berakhir. Grazio akan terus memburunya, tapi kali ini, Karl bertekad tidak akan tunduk. Pertarungan ini baru saja dimulai.

"El, segera datang ke lokasi yang saya kirim." Karl berbicara dengan suara lemah melalui telepon, sambil menekan luka di tubuhnya, berharap aliran darah segera berhenti.

Ia menghentikan mobil di tepi trotoar, memandangi jalan yang sebelumnya sepi namun kini kembali dipenuhi kendaraan dan pejalan kaki. Aktivitas yang semula terhenti seolah berjalan seperti biasa, meskipun di dalam dirinya ada ketegangan yang belum mereda. Pikirannya melayang pada keputusan ayahnya, sebuah langkah yang hingga kini tidak sepenuhnya ia pahami. Namun, yang paling diinginkannya saat ini hanyalah agar ayahnya berhenti mencampuri urusannya. Sudah cukup tekanan yang ia terima dari kakeknya, ditambah lagi dengan beban pekerjaan yang semakin berat.

Waktu berjalan terasa lambat dalam kecemasannya. Setiap detik yang berlalu semakin menambah rasa sakit pada lukanya. Karl menatap sekilas darah yang merembes di antara jari-jarinya, lalu menghela napas berat. Ia tahu bahwa kondisinya tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, namun pilihan yang tersisa hanyalah menunggu kedatangan Elgard dan timnya.

Tak lama kemudian, Elgard tiba dengan dua pengawal lainnya. Melihat kondisi Karl yang memprihatinkan, Elgard segera mengambil alih kemudi tanpa banyak bicara. Dalam diam, ia membantu Karl masuk ke dalam kendaraan, lalu mengarahkan mobil menuju rumah sakit terdekat. Para pengawal lainnya berjaga di sekitar, memastikan perjalanan berlangsung aman tanpa gangguan.

Sepanjang perjalanan, Karl memejamkan mata, menahan rasa sakit yang semakin menusuk. Ia hanya bisa berharap semuanya akan segera berakhir—luka ini, masalah yang tak kunjung usai dengan ayahnya, dan tekanan yang selama ini menghimpitnya. Di tengah rasa sakit, bayangan hidup yang lebih damai muncul dalam pikirannya, walau entah kapan itu akan menjadi kenyataan. Untuk saat ini, yang bisa ia lakukan hanyalah menyerahkan segalanya pada Elgard, pria yang selama ini setia berada di sisinya.

Mobil melaju dengan cepat, menembus hiruk pikuk jalanan kota. Di tengah badai masalah yang belum sepenuhnya berlalu.

To be continued ~

Kasih feedback berupa like, follow, dan komen biar aku semangat nulis row!
Ig acc: @phiwkshlll

Karl Norbert {DämonenmannTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang