1

521 52 8
                                    

Teriknya panas matahari siang ini tidak menyurutkan semangat seorang pemuda yang sedang mengayuh sepedanya menuju sungai.

Dia baru saja pulang dari sekolah. Alih-alih langsung pulang ke rumah seperti yang diharapkan ibunya, dia malah memilih berbelok menuju sungai yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.

Padahal, ibunya selalu melarangnya pergi ke sana. Wanita itu khawatir jika sesuatu terjadi pada anaknya. Arus sungai kadang-kadang tidak menentu, apalagi di musim yang serba tak terduga seperti saat ini, ketika hujan dan panas datang silih berganti tanpa peringatan.

Tapi memang dasarnya Zayyan, anak laki-laki itu, keras kepala. Berapa kali pun ibunya memperingatkan, dia tetap saja sering keluyuran ke sungai sepulang sekolah. Sungai seolah-olah menjadi tempat pelarian favoritnya, dan tidak ada yang bisa menghalanginya.

Zayyan Malik Ahmad, begitulah nama lengkapnya. Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun. Dia adalah anak tunggal, dan ayahnya sudah meninggal ketika usianya baru menginjak 10 tahun. Kini, tinggal dia dan ibunya yang harus berjuang menghadapi kerasnya hidup. Ibunya menjadi tulang punggung keluarga, bekerja siang dan malam untuk menghidupi mereka berdua.

Meskipun kehilangan sang ayah sempat membuatnya berubah menjadi pendiam, perhatian dan kasih sayang ibunya perlahan memulihkan keceriaannya. Baginya, selama masih memiliki sang ibu, dia merasa dunia ini tidak sepenuhnya sepi.

Setibanya di tepi sungai, Zayyan segera turun dari sepedanya. Tanpa pikir panjang, dia melepaskan baju seragamnya hingga hanya menyisakan celana sekolah selutut, lalu melompat ke dalam sungai dengan penuh semangat. Ah, segarnya! Dingin air sungai langsung mengusir rasa gerah yang mengganggunya sejak tadi.

Sudah menjadi kebiasaannya untuk mandi di sungai ini setelah pulang sekolah. Ada kenikmatan tersendiri yang dia rasakan setiap kali berendam di tengah teriknya matahari, seolah-olah air sungai mampu menyerap semua lelah dan kepenatan.

Meskipun ada beberapa pepohonan di sekitar sungai yang memberikan sedikit perlindungan dari sengatan sinar matahari, suasana di tempat itu tetap terasa lengang. Bahkan, siang ini mungkin hanya ada dia seorang diri di sana. Kesendirian itu bukanlah hal baru bagi Zayyan; dia sudah terbiasa.

Dia berbaring terlentang di permukaan air, membiarkan tubuhnya mengapung, menatap langit dengan mata terpejam untuk menghindari silau sinar matahari. Dia mencoba meresapi kedamaian yang ditawarkan oleh alam di sekelilingnya.

Namun, di tengah keheningan dan rasa tenang yang melingkupinya, tiba-tiba dia teringat sesuatu-ibunya tadi berpesan agar dia langsung pulang setelah sekolah. Sang ibu butuh bantuannya untuk membawa barang-barang dagangan ke pasar. Zayyan sampai melupakan pesan itu karena terlalu bersemangat untuk bermain di sungai.

"Oh, tidak!"

Apakah ibunya sudah lama menunggu? Pasti ibunya kerepotan membawa barang-barang itu seorang diri tanpa bantuannya.

Dengan perasaan bersalah, Zayyan buru-buru bangkit dan berusaha kembali ke tepi sungai. Dia melangkah hati-hati di antara bebatuan yang licin, menyusuri aliran sungai yang hari ini terlihat lebih deras dari biasanya. Namun, tiba-tiba...

"Bruk!"

Suara benturan keras menggema, memecah kesunyian. Zayyan merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya sebelum segalanya berubah menjadi gelap gulita. Darah mulai mengalir, mencemari jernihnya air sungai di sekitarnya. Dia tak sempat berteriak, bahkan tak sempat meminta tolong. Tubuhnya terseret arus sungai yang semakin deras, menelannya begitu saja.

Di sisa-sisa kesadarannya yang memudar, Zayyan hanya bisa berharap ibunya bisa menerima kepergiannya, jika memang ini adalah akhir dari perjalanannya. Dia menyesal tak bisa menemani ibunya lebih lama lagi.

OUR SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang