8

294 37 7
                                    

Sing duduk di tepi ranjang, memandang lurus pada jendela kamarnya yang besar. Di luar, langit berwarna abu-abu, mendung menggantung berat seakan mencerminkan suasana hatinya. Rumah yang tampak megah dari luar, hanya menyimpan kehampaan di dalamnya, penuh bayang-bayang sepi dan dingin. Ia hampir lupa rasanya pulang ke rumah dengan perasaan hangat atau lega. Pulang baginya hanya berarti kembali ke gedung tak bernyawa, tanpa arti, tanpa rasa.

Selama bertahun-tahun, ia menerima kehidupan yang serba dingin ini. Orang tuanya begitu tenggelam dalam pekerjaan, seakan-akan segala sesuatu di dunia ini tak lebih penting daripada angka-angka di laporan atau pertemuan bisnis yang tak pernah selesai. Sing hanya ada di sini, tanpa kasih sayang yang menyelimuti, tanpa kata-kata yang menenangkan, tumbuh dalam kesunyian yang nyaris membuatnya mati rasa.

Hari ini, ia pulang dari sekolah asrama untuk libur mingguan satu hari—ritual yang tak pernah dinantinya. Namun, setidaknya ia tak berharap lebih. Harapan selalu terasa pahit, bagai racun yang perlahan menyesap masuk, sebab yang ia terima hanya kehampaan, atau mungkin lebih buruk.

Begitu pintu terbuka, udara rumah terasa berbeda. Ada suara ribut, bentakan, dan emosi yang menyengat dari ruang tamu. Sing terdiam, terkejut oleh kegaduhan yang jarang ia dengar di rumah ini. Langkahnya tertahan di ambang pintu, telinganya menangkap kata-kata yang dilemparkan dengan kemarahan yang mencabik-cabik. Ia menyadari suara itu adalah mama, dan di seberangnya, papa menjawab dengan nada dingin dan tajam.

“Bagaimana bisa kau selingkuh? Apa kau tak berpikir bagaimana publik akan melihat kita?” Suara mama terdengar retak, bergetar di ujung kalimat, bukan karena cinta yang tersakiti, melainkan kehormatan yang terasa terancam.

Papa menanggapi dengan suara rendah, dingin. “Apa peduliku pada publik? Kita menikah tanpa cinta, ingat? Kau yang mengusulkan ini semua.”

Sing menelan ludah, hati kecilnya mencubit, seolah ada benih kebenaran pahit yang tak pernah ia sadari sepenuhnya. Ia tahu bahwa pernikahan orang tuanya hanyalah pengikat bisnis, sekadar persetujuan di atas kertas untuk menguatkan kedua perusahaan besar yang mereka warisi. Tapi mendengarnya langsung, menyadari ia hanyalah pelengkap, tak lebih dari pewaris yang diinginkan demi mempertahankan reputasi—semua itu membuat hatinya semakin kosong.

"Aku tidak peduli pada pernikahan kita, tapi kau... kau menghancurkan citra keluarga ini!" Mama memekik, suaranya hampir pecah.

Sing berdiri kaku, mendengarkan mereka bertukar kata-kata tajam, menohok hati seperti pisau yang menusuk. Rumah ini, pikirnya, hanyalah arena perang dingin yang akhirnya memuncak. Bukan tempat untuk cinta, dan bukan tempat untuknya. Apa yang selama ini mereka coba pertahankan hanyalah bayangan sempurna, sementara yang ada di dalamnya adalah kehancuran yang sudah lama terpendam.

Keesokan harinya, papa dan mama akhirnya sepakat untuk bercerai. Pertengkaran berhenti, namun ketegangan tak hilang begitu saja. Bahkan saat mereka berbicara tentang masa depan, perdebatan tak bisa dihindari. Pertanyaan berikutnya adalah soal dirinya—hak asuh Sing. Bukan karena ia diperebutkan atas nama cinta, tapi untuk mempertaruhkan masa depan perusahaan. Sebagai pewaris, Sing adalah bagian penting dari citra yang harus mereka jaga, dan tanpa ragu mereka memperdebatkan siapa yang lebih layak “memiliki” dirinya.

Di ruang pengadilan yang besar dan penuh formalitas, ia duduk dengan kaku, tanpa ekspresi, mendengarkan kedua orang tuanya saling berdebat. Hak asuh jatuh kepada papa, dan mama pergi tanpa menoleh lagi, tak ada ucapan perpisahan, tak ada sentuhan tangan. Hanya kehampaan yang kembali menyelimutinya.

Waktu terasa berjalan lambat. Sekembalinya ke rumah, Sing hanya berdiam di kamarnya, memandangi dinding putih tanpa ekspresi. Hari-hari berlalu tanpa makna, seperti alur hidup yang kosong. Ia tak lagi masuk sekolah, lima hari sudah, dan tak satu pun dari kedua orang tuanya yang bertanya atau peduli. Mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing, meninggalkan dirinya yang terombang-ambing dalam kesepian yang semakin mengakar.

OUR SECRETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang