Kaki jenjang dengan balutan midi skirt denim itu melangkah memasuki sebuah ruangan. Ruangan penuh dengan peralatan musik yang tertata dengan rapi. Senyumnya merekah begitu indah. Wajahnya begitu cantik, jika memandangnya dengan seksama.
"Gue kira izin kerja kelompok lagi," tutur Jo kepada Jasmine yang terkekeh kecil seraya terduduk tepat di depan Jo yang tengah sibuk dengan piano.
Mata keduanya bertabrakan. Terlihat dengan jelas wajah lelaki tampan dengan rambut sedikit panjang itu salah tingkah. Senyumnya merekah ia berikan kepada Jasmine yang kini beralih menatap jemari Jo yang lihai menekan not demi not keyboard piano.
Iramanya begitu indah. Bahkan Jasmine kini memejamkan mata hanya untuk menikmati alunan merdu tersebut.
Jo tersenyum senang. Tentu saja, Jasmine adalah gadis yang ia inginkan. Jemari Jo kini terhenti. Alunan irama merdu pun tak terdengar lagi di tiap-tiap sudut ruangan musik.
"Tumben ke sini, biasanya kalau nggak ada jadwal latihan langsung balik ke rumah," ujar Jo dengan senyuman kecil.
Jasmine tersenyum lebar. Gadis itu mengangguk-anggukan kepala perlahan. "Niatnya mau main piano karena suntuk," jawabnya santai.
Beberapa tahun ini Jasmine merasa dunianya begitu redup. Cahaya yang dulu menyinari perlahan menghilang. Tempat mengadunya telah pergi, bahkan pilar hidupnya seakan tidak peduli.
Jo yang sadar akan perubahan raut wajah Jasmine, pun lelaki itu berdeham kecil. Rasanya ia menyesal menggoda Jasmine. Ia menjadi sadar bahwa gadis cantik di hadapannya kini tengah dalam suasana hati dan pikiran yang tidak baik-baik saja.
"Jadi main pianonya?" tanya Jo begitu lembut. Lelaki itu dapat diakui seorang gentleman. Bahkan reputasi baiknya mendominasi di hidupnya.
Jasmine menatap Jo dengan kilatan mata yang begitu memikat. Senyum kecilnya seakan memberikan kode kepada Jo bahwa ia membutuhkan piano untuk melampiaskan kesedihan dan kekosongan hidup.
Jo kini membangkitkan diri bersamaan dengan Jasmine. Keduanya bertukar posisi. Kini Jasmine telah berada di mana Jo terduduk sebelumnya. Jemari gadis itu telah bersiap menekan tiap-tiap not keyboard piano.
Alunan nada itu kini bersambungan menjadi irama. Sebuah lagu milik Eric Clapton – Tears In Heaven menggema di telinga Jasmine dan Jo. Meskipun begitu, Jo tidak begitu mendengar alunan itu dengan seksama. Lelaki itu lebih memilih untuk memperhatikan Jasmine yang kini memejamkan mata dengan jemari yang lihai menekan tiap not keyboard piano.
Jo tahu betul perihal lagu ini. Ia paham makna lagu yang kini Jasmine mainkan. Semakin lama, alunan itu semakin cepat. Semakin tak terkendali. Jasmine bahkan kini telah membuka matanya. Gadis ini terlihat tidak baik-baik saja.
Hingga genggaman jemari Jo pada jemari Jasmine menghentikan kegiatan Jasmine. Keduanya kini saling menatap. Jasmine dengan tatapan kosong dan sedihnya. Sementara Jo, lelaki itu menatap Jasmine dengan wajah penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DARK ZONE - [JAGUARO]
Romansa[FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBACA SEMUA PART] "This man was like a dark zone in a burning candle." - Isabelle Jasmine. Katakan bahwa seseorang berbahaya, namun ia jauh lebih dari kata berbahaya. Katakan bahwa seseorang tidak dapat tertandingi, m...